Kisah Tita Delima Digugat Rp 120 Juta, Awalnya dari Jual Nastar

Kisah Tita Delima Digugat Rp 120 Juta, Awalnya dari Jual Nastar

Kasus Tita Delima: Gugatan Rp120 Juta yang Berujung pada Putusan Pengadilan

Tita Delima, seorang perempuan asal Boyolali, Jawa Tengah, kini menjadi sorotan setelah digugat oleh bekas tempat kerjanya. Gugatan tersebut mencapai nilai Rp120 juta dengan tuduhan pelanggaran kontrak kerja. Namun, dalam sidang pengadilan, gugatan ini akhirnya ditolak karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Latar Belakang Perkara

Tita sempat bekerja di sebuah klinik gigi di Solo Baru. Setelah berhenti dari pekerjaannya, ia memutuskan untuk beralih profesi dan membuka usaha kue rumahan, termasuk nastar. Kue buatannya ternyata banyak diminati, bahkan oleh klinik lain yang berada di wilayah yang sama. Hal ini menjadi pemicu munculnya gugatan dari bekas tempat kerjanya.

Pihak klinik mengklaim bahwa Tita melanggar kontrak kerja karena bekerja di bidang serupa. Mereka menuntut ganti rugi atas dugaan pelanggaran komitmen dan kerugian immateriil. Gugatan ini dilayangkan secara resmi dan terus berlangsung hingga akhirnya dibawa ke pengadilan.

Proses Hukum dan Putusan Pengadilan

Dalam proses hukum, Tita menerima somasi hingga empat kali sebelum akhirnya perkara ini diputuskan di Pengadilan Negeri Boyolali. Sidang putusan digelar secara elektronik dan dipimpin oleh hakim tunggal Teguh Indrasto. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena cacat formil.

Menurut penjelasan Humas Pengadilan Negeri Boyolali, Tony Yoga Saksana, gugatan tersebut tidak memiliki dasar yang cukup kuat. Salah satu alasan utamanya adalah ketidakjelasan hubungan kerja antara Tita dan pihak klinik. Dalam perjanjian kerja sama, pihak yang menandatangani tidak merupakan penggugat dan tergugat, melainkan Tita dengan pihak lain.

Penjelasan Pihak Klinik

Sementara itu, pihak klinik yang menggugat Tita, yaitu Symmetry Orthodontic dan Aesthetic Dental Clinic, memberikan penjelasan terkait tuntutan mereka. Mereka menyebutkan bahwa gugatan terdiri dari dua komponen utama. Pertama, sebesar Rp50 juta sebagai penggantian gaji selama masa kerjanya di klinik. Kedua, sebesar Rp70 juta sebagai ganti rugi immateriil karena merasa dikhianati dan melanggarnya janji.

Namun, Co-Founder Symmetry, Maria Santiniaratri, membantah klaim tersebut. Ia menyatakan bahwa Tita bukanlah karyawan resmi, melainkan hanya diperbantukan secara pribadi oleh salah satu pemilik klinik. Maria juga menjelaskan bahwa Tita keluar dari pekerjaannya lalu membuka usaha kue, dan klinik hanya memesan kue tersebut tanpa adanya kontrak kerja formal.

Penjelasan Lebih Lanjut

Maria menambahkan bahwa ada aturan tambahan di luar kontrak awal yang dijadikan dasar penalti. Salah satunya adalah potongan gaji terakhir Tita karena dianggap mengundurkan diri sebelum masa kontraknya selesai. Meski demikian, Maria menegaskan bahwa Tita tidak dipekerjakan secara formal atau tetap di klinik.

Selain itu, Maria menjelaskan bahwa penggajian terhadap Tita langsung dari rekening pribadi dokter Indra, bukan lewat rekening perusahaan. Hal ini menjadi bukti bahwa Tita tidak dianggap sebagai karyawan klinik.

Kesimpulan

Putusan pengadilan menunjukkan bahwa gugatan terhadap Tita tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Dengan penjelasan yang diberikan oleh pihak klinik, disampaikan bahwa Tita tidak melanggar kontrak kerja karena tidak dipekerjakan secara formal. Dengan demikian, kasus ini menjadi contoh penting tentang perlunya kejelasan dalam hubungan kerja dan pemahaman hukum yang baik.