KPA NTT Menentang Proyek Wisata di Taman Nasional Komodo: Pemerintah Monopoli Tanah, Ata Modo Dibuang

Ketimpangan Penguasaan Tanah di Taman Nasional Komodo Mengundang Kritik
Ketimpangan dalam penguasaan tanah di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) kembali menjadi perhatian masyarakat dan organisasi yang peduli terhadap hak-hak masyarakat adat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) menyatakan penolakan terhadap proyek konsesi pariwisata yang diberikan kepada PT. Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE). Proyek ini dinilai hanya memperdalam marginalisasi masyarakat adat Ata Modo, penduduk asli Pulau Komodo.
Penolakan ini disampaikan setelah pelaksanaan konsultasi publik Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang digelar oleh pemerintah pada 23 Juli 2025 di Golo Mori Convention Center, Labuan Bajo. KPA menyebut proses tersebut tidak transparan karena masyarakat Ata Modo sebagai pihak terdampak langsung tidak dilibatkan secara penuh.
Honorarius Quintus Ebang, Koordinator KPA Wilayah NTT, mengungkapkan bahwa konsultasi publik untuk izin konsesi di TNK sangat melukai martabat Ata Modo. Menurutnya, kehadiran TNK atas nama konservasi justru bertujuan untuk memonopoli ruang dan memberi peluang investasi bagi segelintir orang pemodal. Ia menilai pemerintah telah merampas dan mengabaikan hak masyarakat Ata Modo, bahkan membuat mereka rentan dikriminalisasi.
Luasnya Konsesi Korporasi di Kawasan TNK
Sejak 2014, PT KWE diberikan konsesi seluas 274,13 hektare di Pulau Padar dan 151,94 hektare di Loh Liang, Pulau Komodo. Namun, perusahaan ini bukan satu-satunya yang menguasai ruang di kawasan TNK. Beberapa perusahaan lain juga memiliki konsesi yang lebih kecil, seperti:
- PT Segara Komodo Lestari dengan 22,1 hektare di Pulau Rinca.
- PT Sinergindo Niagatama mendapat 15,3 hektare di Pulau Tatawa.
- PT Nusa Digital Creative dan PT Pantar Liae Bersaudara diberi izin atas lahan seluas 712,12 hektare.
- PT Palma Hijau Cemerlang mengelola 5.815,3 hektare melalui perjanjian kerja sama dengan Balai TNK.
Di tengah luasnya konsesi korporasi, masyarakat Ata Modo hanya menempati area pemukiman seluas 18,187 hektare untuk 539 kepala keluarga, berdasarkan data kependudukan tahun 2024 yang mencatat jumlah penduduk Desa Komodo sekitar 1.989 jiwa.
Sejarah Pembatasan Ruang Hidup Masyarakat Adat
Pembatasan ruang hidup masyarakat Ata Modo dimulai sejak kawasan Pulau Komodo ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1965. Status itu kemudian diubah menjadi Taman Nasional pada 1980. Perubahan ini turut mengubah nasib masyarakat adat. Ruang hidup mereka dibatasi atas nama konservasi. Bahkan pada masa pemerintahan Orde Baru, Ata Modo yang tinggal dan berkebun di Loh Liang diusir secara paksa dengan kekuatan militer.
Selain itu, penetapan kawasan perairan seluas 132.572 hektare sebagai bagian dari TNK melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1992 memperparah kondisi masyarakat. Akses mereka terhadap laut dan hasil tangkap pun terbatas, menyebabkan ketergantungan pada pasokan pangan dari Labuan Bajo dan Sape, NTB.
Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat
Pola kehidupan masyarakat Ata Modo berubah drastis. Dari yang semula mengandalkan berburu, bertani, dan melaut, kini sebagian besar hanya terlibat sebagai pekerja dalam industri pariwisata yang dikendalikan investor. Model pembangunan berbasis industri (industry-based tourism) dinilai tidak memberi tempat bagi penguatan komunitas lokal. Akibatnya, Ata Modo kehilangan lahan, akses budaya, hingga ruang hidup.
Tuntutan KPA untuk Hak Masyarakat Ata Modo
KPA menegaskan bahwa Ata Modo harus diberi hak atas sumber-sumber agraria dan menjadi subjek pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah diminta untuk mengembalikan harga diri Ata Modo sebagai masyarakat yang punya kesejarahan di atas tanah Komodo dan punya hak konstitusional untuk mengakses sumber-sumber agraria di Komodo.
Sebagai langkah nyata, KPA mendorong Pulau Komodo masuk sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dan mengembangkan program Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA) sebagai model pembangunan berbasis masyarakat. Selain itu, KPA Wilayah NTT menuntut pemerintah untuk menghentikan seluruh konsesi di kawasan TNK, melakukan evaluasi menyeluruh atas izin-izin yang telah dikeluarkan, dan mengembalikan tanah adat kepada masyarakat Ata Modo melalui pelaksanaan reforma agraria sejati.