LMKN Minta Klarifikasi Hukum dalam Revisi UU Hak Cipta

Featured Image

Perkembangan Royalti dan Tantangan LMKN di Indonesia

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) telah mencatat peningkatan signifikan dalam pungutan royalti sejak adanya Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah dana yang dikumpulkan oleh LMKN meningkat secara drastis, dengan posisi pungutan royalti pada 2024 mencapai lebih dari Rp 200 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa kepastian hukum yang diberikan oleh undang-undang tersebut memberikan dampak positif terhadap pengelolaan hak cipta di Indonesia.

Candra Darusman, tokoh musik legendaris sekaligus anggota LMKN, menjelaskan bahwa pada tahun 1991, lembaga manajemen kolesktif pertama di Indonesia, KCI, berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 456 juta. Dengan adanya UU Hak Cipta yang baru, jumlah dana yang dikumpulkan semakin besar. Ia juga menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) telah melakukan upaya sosialisasi optimal untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha terkait pentingnya hak cipta.

Menurut Candra, meskipun DJKI sudah berkeliling daerah dan ke pengusaha, efektivitasnya masih perlu ditingkatkan. Ia menilai bahwa insiden seperti kasus Mie Gacoan dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melindungi hak cipta.

Revisi UU Hak Cipta dan Peran LMKN

Seiring dengan maraknya kasus-kasus terkait hak cipta, wacana revisi UU Hak Cipta kembali bergulir. Candra berharap agar status hukum dan wewenang LMKN dapat lebih diperjelas, sehingga posisinya sebagai pihak yang menagih dan menghimpun dana royalti menjadi lebih kuat.

Selain itu, ia menyarankan adanya moratorium atau penghentian sementara pemberian izin LMK baru. Saat ini, ada 15 LMK yang telah beroperasi, dan masih banyak yang mengajukan izin baru. Menurut Candra, cukup 5 hingga 6 LMK saja di Indonesia agar tidak terlalu banyak dan tidak efisien.

Dari segi legislasi, Candra menilai dasar hukum yang ada saat ini sudah jelas. Namun, ia berharap pemahaman dan penerapan di lapangan dapat terus ditingkatkan, terutama dalam hal penegakan hukum dan pengelolaan dana royalti.

Masalah Tarif dan Penagihan kepada UMKM

Terkait keluhan pelaku usaha terkait skema penetapan tarif royalti, Candra menjelaskan bahwa perhitungan tarif tidak sesederhana hanya melihat kapasitas tempat usaha. Ada formula yang digunakan, termasuk memperhitungkan occupancy rate (tingkat keterisian) yang hanya terisi kurang dari 50%, serta perhitungan hari kerja, sehingga tidak ditagih untuk 365 hari penuh.

Ia juga memastikan bahwa LMKN tidak mengejar UMKM dalam upaya penagihan royalti, karena belum ada rumusan resmi terkait tagihan untuk UMKM. Menurutnya, LMKN hanya menyasar usaha-usaha yang dinilai established dengan infrastruktur memadai dan cakupan yang jelas besar.

Saat ini, LMKN sedang menggodok tarif baru yang akan disosialisasikan kepada pelaku usaha. Namun, rumusan tersebut belum bisa dibuka sekarang. Candra juga memastikan bahwa penyaluran royalti kepada pemilik karya tepat sasaran, sesuai dengan mandat LMKN selama ini.

Proses Pencairan Royalti dan Dana Cadangan

Lisensi yang diberikan oleh LMKN berupa paket lagu, sehingga pelaku usaha membayar dengan paket. Jika dalam daftar paketnya ada lagu yang pemiliknya belum terdaftar sebagai anggota LMK, tarif royaltinya akan mengendap dulu di LMKN selama dua tahun.

Pemilik lagu dapat segera mendaftarkan diri sebagai anggota LMK untuk mengeklaim royalti tersebut. Namun, jika hingga dua tahun berlalu pemilik lagu tak kunjung mengeklaim royaltinya, dana akan beralih ke dana cadangan LMKN untuk berbagai kebutuhan terkait, misalnya pembinaan dan pengembangan.