Mahmudin Kacak Alonso Berjalan Kaki ke Markas Polri

Featured Image

Perjalanan Kacak Alonso: Dari Tanjungbalai Menuju Jakarta

Dengan mengenakan topi capil dan memegang Sang Saka Merah Putih, Mahmudin alias Kacak Alonso melangkah perlahan meninggalkan kota Tanjungbalai, Sumatera Utara. Di pundaknya tergantung ransel sederhana dan berkibar spanduk bertuliskan "Korban Kriminalisasi Oknum Kompol DK". Tujuannya jelas, yakni menuju Markas Besar Polri di Jakarta. Jarak yang harus ditempuh lebih dari 1.700 kilometer, semua demi satu tuntutan, yaitu keadilan.

"Saya ingin melaksanakan amanat reformasi 1998, saya ingin bertemu Presiden Prabowo dan Kapolri," ujar Kacak saat ditemani istri dan anaknya hingga batas kota Tanjungbalai, Sabtu (2/8/2025). Ia menyebut dirinya menjadi korban kriminalisasi oleh Kompol DK, perwira di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut. Menurutnya, ia dilaporkan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena menyebarkan video penangkapan seorang warga bernama Rahmadi melalui WhatsApp.

"Video tersebut bukan saya yang buat, dan saya tidak pernah unggah ke Facebook, tapi saya yang dilaporkan," kata Kacak dalam siaran langsung melalui TikTok miliknya di perjalanan, yang kini telah sampai ke Labuhanbatu Utara (Labura).

Ia juga menceritakan bahwa pernah diundang ke Polda Sumut dan disuruh membuat video klarifikasi. "Saya pernah diundang ke Polda Sumut dan disuruh membuat video klarifikasi, mereka yang minta saya membuat video, tapi malah saya yang dikriminalisasi," tuturnya.

Alegori Mahabharata dan Buku Paradoks Indonesia

Narasi perlawanan Kacak tak lepas dari alegori yang ia ambil dari epos Mahabharata. Di dadanya tergenggam buku Paradoks Indonesia karya Presiden Prabowo Subianto, yang menurutnya memberi kekuatan moral dalam menghadapi kesewenang-wenangan. "Kami rakyat kecil adalah Pandawa tapi hari ini, Kurawa sedang berkuasa," ucapnya.

Kacak bertekad tidak akan berhenti hingga tiba di Jakarta. Ia merencanakan bertemu langsung dengan Komisi III DPR RI, DPD RI, dan berharap diberi ruang untuk bicara di depan publik. "Saya akan tempuh semua ini dengan kaki saya sendiri, karena suara rakyat kecil seringkali tak terdengar kalau hanya lewat surat," jelasnya.

Dalam perjalanan panjangnya, Kacak tidak sekadar berjalan, ia juga terus menyuarakan kisahnya melalui siaran langsung di media sosial. Dukungan moral dari warganet berdatangan, namun belum ada respons resmi dari institusi yang dituju.

Laporan dari Kompol DK dan Kontroversi Video

Sebagaimana diketahui, Kompol DK, melalui kuasa hukumnya Hans Silalahi, telah melaporkan Kacak ke Polda Sumut pada 31 Juli 2025. Laporan itu terdaftar dalam LP Nomor: LP/B/1233/VII/2025/SPKT/POLDA SUMUT. Hans menuding video yang disebarkan Kacak menyesatkan dan mencemarkan nama baik kliennya.

Menurut laporan, video yang beredar adalah rekaman kamera pengawas toko pakaian saat Kompol DK menangkap Rahmadi, warga Tanjungbalai, dalam kasus narkotika. Polisi menyebut Rahmadi melawan saat ditangkap sehingga harus dilumpuhkan. Rekaman peristiwa itu kemudian menyebar ke grup WhatsApp beranggotakan ratusan orang.

Namun, Rahmadi membantah semua tuduhan, mengklaim penangkapan itu direkayasa dan sabu seberat 10 gram yang dijadikan barang bukti bukan miliknya, melainkan sengaja diletakkan polisi di dalam mobilnya.

Tekanan Hukum terhadap Warga yang Mengkritik

Tak hanya Kacak, sejumlah warga lain yang mengkritisi kasus ini juga mendapat tekanan hukum. Kompol DK tercatat telah melaporkan beberapa orang lain yang menggelar unjuk rasa menuntut pencopotannya sebagai polisi. Laporan-laporan tersebut menyasar kepada sejumlah warga yang membentangkan spanduk dan mendesak presiden serta Kapolda Sumut untuk mencopotnya dari jabatan.

Sampai berita ini ditulis, Kacak Alonso telah masuk ke wilayah Kabupaten Labura. Langkah-langkah kecilnya terus menggemakan satu pesan, bahwa di negeri ini, hukum tak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas.