Mengungkap Monumen Asykar di Kampung Kauman

Featured Image

Perjalanan Spiritual dan Sejarah di Kampung Kauman

Pagi itu, langkah saya dimulai dari SM Tower Malioboro, sebuah hotel yang berada di Jalan KH Ahmad Dahlan No.107, Ngampilan. Bangunan ini memiliki arsitektur modern yang bersih, tetapi menyimpan semangat historis yang tak terpisahkan dari perjuangan Muhammadiyah dalam bidang dakwah dan literasi. Hotel ini bukan hanya tempat menginap, tetapi juga ruang inspiratif yang kaya akan makna sejarah pergerakan Islam di Indonesia.

Dari pelataran hotel, saya mulai berjalan kaki menyusuri Jalan KH Ahmad Dahlan. Udara masih segar, dan sinar matahari menyelinap pelan antara bangunan tua dan toko-toko kecil. Dalam jarak beberapa ratus meter, gerbang Kampung Kauman mulai terlihat—kokoh, bersahaja, dan tetap menjadi pusat gravitasi spiritual masyarakat Yogyakarta. Di sinilah narasi sesungguhnya dimulai.

Gerbang Kauman: Portal Spiritual dan Sosial

Gapura Kauman berdiri kokoh dengan bentuk lengkung di bagian atas, mencerminkan pengaruh arsitektur Timur Tengah. Di tengahnya terpampang lambang Muhammadiyah: matahari bersinar dua belas dalam lingkaran hijau. Ini bukan sekadar simbol organisasi, tetapi penanda bahwa saya memasuki wilayah yang telah melahirkan gerakan Islam progresif sejak awal abad ke-20.

Gerbang ini bukan hanya pintu masuk fisik, tetapi juga portal menuju lorong waktu—ke masa ketika agama, pendidikan, dan keberanian rakyat bersatu dalam satu napas perjuangan. Di balik gapura ini, saya melangkah ke ruang yang pernah menjadi pusat dakwah, tempat kelahiran Hizbul Wathan, dan medan tempur spiritual melawan penjajahan.

Filosofi Jalan Kaki: Menanggalkan Status Sosial

Di Kampung Kauman, kendaraan bermotor dilarang masuk. Jalan-jalan sempit dirancang agar setiap orang yang melintas harus berjalan kaki—sebuah filsafat kesetaraan yang menghapus batas status sosial. Di sini, semua orang adalah pejalan, pencari ilmu, dan bagian dari komunitas.

Langkah kaki menjadi simbol bahwa perjuangan dan pencarian makna tidak bisa dilakukan dengan kecepatan mesin. Ia menuntut kehadiran, kesabaran, dan kesetaraan. Di lorong-lorong Kauman, saya menyaksikan bagaimana ruang fisik membentuk etika sosial: bahwa setiap orang, dari penghulu hingga santri, dari ibu rumah tangga hingga pemuda kampung, berjalan di jalur yang sama.

Monumen Syuhadaa Fii Sabilillaah: Jejak Darah dan Doa

Tak jauh dari gerbang, saya tiba di Monumen Syuhadaa Fii Sabilillaah Kauman Darussalaam, sebuah tetenger yang sunyi namun penuh makna. Monumen ini diresmikan pada 20 Agustus 1995 oleh Komandan Kodim Yogyakarta, dan dibangun untuk mengenang 24 warga Kauman yang gugur dalam revolusi kemerdekaan 1945–1949.

Bentuknya persegi memanjang ke atas, dengan dua dinding setengah lengkung di kanan dan kiri. Di bagian atas, dua bendera merah putih bersilang, di tengah lambang bulan sabit, dan di bawahnya daftar nama para syuhada. Di antara nama-nama itu, tercatat Abu Bakar Alie dan Djazuli, yang gugur dalam peristiwa penyerbuan Kotabaru—salah satu episode penting dalam sejarah militer rakyat Yogyakarta.

Kilas Balik Perjuangan: Dari Askar Perang Sabil ke Monumen Syuhadaa

Monumen ini bukan sekadar penanda kematian, tetapi jejak hidup perjuangan warga Kauman dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Prasasti "Askar Perang Sabil" yang terpahat di sisi monumen mengungkap dimensi lain dari perjuangan: bahwa warga Kauman tidak hanya berjuang sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari satuan militer rakyat yang terorganisir.

Askar Perang Sabil adalah satuan tempur yang dibentuk oleh masyarakat Islam, khususnya warga Kauman, sebagai respons terhadap ancaman kolonial dan agresi militer pasca-Proklamasi. Mereka berlatih fisik, mengatur koordinasi, dan melakukan operasi militer secara mandiri—sering kali menggunakan masjid sebagai markas dan pagi hari sebagai waktu latihan.

Prasasti ini menyebut bahwa mereka pernah menetap di bekas kantor Hizbul Wathan dan bergerak dari rumah-rumah warga, menjadikan ruang domestik sebagai ruang taktis. Nama-nama yang terukir di monumen bukan sekadar daftar, tetapi representasi dari komunitas yang rela kehilangan demi kemerdekaan. Di balik setiap nama, ada keluarga yang berduka, ada langgar yang kehilangan jamaahnya, dan ada kampung yang tetap berdiri meski ditinggal para penjaganya.

Penutup: Kampung Kauman dan Semangat Kemerdekaan ke-80

Kini, menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, monumen ini menjadi lebih dari sekadar batu peringatan. Ia adalah pengingat bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan warisan dari keberanian sipil yang berakar pada iman, komunitas, dan kesediaan untuk berkorban.

Tema resmi peringatan tahun ini adalah: "Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju". Tema ini bukan sekadar slogan, tetapi gema dari lorong-lorong Kauman yang pernah menjadi medan tempur spiritual dan sosial. Di tengah semarak lomba, upacara, dan pesta rakyat, monumen ini mengajak kita untuk kembali ke akar: bahwa kemerdekaan lahir dari warga biasa yang memilih untuk tidak diam.

Kauman mengajarkan bahwa perjuangan tidak selalu bersenjata, tetapi bisa berupa langkah kaki, pengajian malam, atau koordinasi di ruang tamu. Dan dalam semangat kemerdekaan ke-80 ini, kita diingatkan bahwa tugas kita bukan hanya mengenang, tetapi meneruskan.