Mereka yang Berdaya dari Energi Bersih

Pulau Nyamuk, Contoh Tindakan Nyata Energi Baru Terbarukan
Pulau Nyamuk terletak di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Lokasinya sangat jauh dari pusat kota dan aksesnya hanya melalui jalur laut. Meskipun begitu, pulau ini memiliki kisah unik dalam penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang lebih awal dibandingkan sebagian besar wilayah Indonesia.
Dari sisi geografis, Pulau Nyamuk berada di tengah Laut Jawa. Jaraknya dari ibukota kabupaten mencapai 130 km, sehingga membutuhkan waktu sekitar tujuh jam perjalanan laut untuk sampai ke sana. Dengan kondisi seperti ini, listrik baru masuk ke pulau tersebut pada tahun 1997, setelah pemerintah daerah membangun delapan kincir angin sebagai pembangkit listrik. Ini menandai awal penggunaan energi terbarukan oleh warga setempat.
Sejak awal, masyarakat Pulau Nyamuk sudah mengandalkan EBT. Namun, hasilnya tidak maksimal. Pada masa itu, kebutuhan listrik hanya bisa dipenuhi selama enam jam sehari, yaitu dari pukul 18.00 hingga 24.00. Setelah itu, warga kembali menghadapi gelap.
Pada tahun 2015, situasi mulai berubah. Pemda membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas daya maksimum 25 kilowatt peak (kWp). Meski demikian, penggunaan daya masih dibatasi. Pembatasan itu akhirnya dilonggarkan setelah pemerintah Denmark memberikan bantuan tambahan berupa panel surya dan komponen lainnya pada 2018. Saat ini, total panel surya di Pulau Nyamuk mencapai 288 unit dengan kapasitas daya 86 kWp. PLN juga telah mengambil alih pengelolaannya sejak 2021.
Kapasitas saat ini mampu memenuhi kebutuhan listrik sekitar 641 warga atau sekitar 200 rumah tangga. Namun, PLTS hanya bekerja optimal ketika matahari terang. Oleh karena itu, warga tetap bergantung pada genset diesel pada malam hari.
PLN merencanakan peningkatan kapasitas PLTS Pulau Nyamuk menjadi 350 kWp pada 2026. Dengan peningkatan ini, kebutuhan listrik warga desa Nyamuk akan sepenuhnya berasal dari EBT.
Pulau Nyamuk menjadi contoh nyata bahwa jika pemerintah memiliki kehendak politik yang kuat, transisi energi bukanlah hal yang mustahil. Bahkan, negara maju seperti Denmark pun bersedia mendukung negara berkembang dalam beralih ke EBT.
Masalah Ketergantungan pada Energi Fosil
Sementara Pulau Nyamuk menunjukkan kemajuan dalam penggunaan EBT, situasi nasional masih jauh dari harapan. Kementerian ESDM menyebutkan bahwa sekitar 85% pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil. Hal ini memperparah krisis iklim.
Hingga Desember 2024, bauran energi terbarukan baru mencapai 13,9%, jauh dari target 23% dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017. Stagnasi ini disebabkan oleh kurangnya investasi. Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar menjelaskan bahwa diperlukan investasi hingga US$162 miliar atau sekitar Rp2.717,2 triliun untuk membangun infrastruktur EBT.
Proyek listrik tenaga hidro dan panas bumi membutuhkan investasi terbesar, yaitu sekitar US$59 miliar. Suroso menegaskan bahwa ini adalah peluang bisnis bagi 10 tahun ke depan, asalkan ada kolaborasi dan komitmen yang kuat.
PLN menargetkan pasokan energi terbarukan mencapai 59% dari total kebutuhan listrik Indonesia sesuai RUPTL 2025–2034. Untuk mencapainya, PLN rencananya menambah kapasitas pembangkit listrik dari EBT sekitar 41,9 gigawatt (GW) hingga 2034.
Namun, pengembangan EBT di Indonesia masih menghadapi tantangan. Ketua Bidang Komunikasi dan Hubungan Eksternal Indonesia Hydropower Association M. Assegaf mengungkapkan bahwa pihak swasta kesulitan masuk ke bisnis EBT karena kurang menguntungkan. Keberlanjutan, keamanan, dan keterjangkauan menjadi tiga dilema utama.
Assegaf menekankan pentingnya kepastian hukum untuk menarik minat pengembang swasta. Ia juga menyarankan agar regulator memberikan regulasi yang menguntungkan semua pihak, termasuk pengembang swasta. Dengan regulasi yang baik, investasi dalam EBT bisa lebih mudah dilakukan.