Metafora Kasur dan Tikar

Featured Image

Perbedaan Kondisi dan Kesempatan dalam Kehidupan

Ada banyak cara seseorang bisa lahir ke dunia ini. Beberapa di antaranya tumbuh dalam lingkungan yang nyaman, dengan fasilitas lengkap dan dukungan penuh dari orang tua. Mereka tinggal di rumah besar dengan ruangan berpendingin udara, memiliki halaman luas, dan dibesarkan oleh orang tua yang memahami pentingnya pendidikan. Setiap bulan, mereka mendapatkan buku bacaan baru, mengikuti berbagai kursus musik, bahasa, atau les privat tanpa perlu diminta terlebih dahulu.

Di sisi lain, ada juga anak-anak yang lahir dengan bantuan dukun bayi, tinggal di rumah sederhana dengan dinding anyaman dan alas tikar. Mereka tidak malas belajar, tetapi kondisi hidup mereka sering kali membuat waktu belajar harus diganti dengan pekerjaan sehari-hari seperti menjaga warung atau membantu dagang. Buku yang mereka gunakan pun seringkali bekas dan dipakai bergantian. Malam hari sering diisi dengan suara tikus berlarian dan lampu pelita yang menyala-nyala tak menentu.

Meskipun keduanya sama-sama hidup, napas mereka terasa berbeda. Yang satu menghela napas karena bingung memilih universitas luar negeri atau dalam negeri, sedangkan yang lain justru menahan napas setiap akhir bulan, khawatir bagaimana cara membayar SPP. Hari-hari mereka seringkali penuh tantangan, namun tetap bertahan.

Mereka yang tidur di kasur empuk mungkin heran melihat mereka yang tidur beralas tikar masih tertidur lelap saat matahari mulai bersinar. Namun, yang tidak mereka ketahui adalah bahwa bangun dan tidur beralas tikar bukan hanya soal jam tidur, tapi juga soal luka-luka di punggung dan rasa dingin dari hujan semalam yang menusuk tulang. Kelelahan fisik itu kadang juga memengaruhi mental, terutama jika sering dianggap lamban dan malas hanya karena latar belakangnya berbeda.

Dunia bekerja dengan cara yang berbeda bagi setiap orang. Mereka yang lahir dengan kecepatan penuh sering kali lupa untuk menoleh ke belakang. Padahal, tidak semua orang yang gagal atau miskin itu karena malas. Sebagian dari mereka hanya belum sempat beristirahat dari medan perang kehidupan yang terlalu berat. Bahkan langkah mereka terasa sangat pelan untuk mencapai garis finish.

Di media sosial, kita sering membaca kutipan-kutipan motivasi seperti "Semua orang punya kesempatan yang sama. Tinggal mau atau tidak." Kalimat-kalimat ini terdengar benar, tetapi sebenarnya hanya benar bagi mereka yang tidak pernah merasakan apa itu tidak punya apa-apa. Bagaimana mungkin bisa mengatakan semua orang punya kesempatan yang sama, padahal dari segi pendidikan saja, kesempatan mereka yang sudah punya segalanya jauh lebih besar daripada yang tidak punya apa-apa. Bahkan kesempatan untuk bersantai setelah sekolah saja sudah berbeda. Anak yang tidak punya uang harus bekerja keras setelah sekolah untuk bisa makan malam, sementara anak orang kaya hanya perlu rebahan dan pesan makanan via ojek online.

"Jangan ngeluh terus, saya aja bisa."

Ya, kamu bisa... karena kamu tidak perlu kerja dua shift untuk bantu bayar kuliah. Karena kamu bisa memilih passion kuliahmu tanpa dihantui tagihan SPP adik. Itulah masalahnya. Keberhasilan sering jadi panggung, tapi asal-usul dan latar belakangnya selalu ditutup rapat di balik layar. Mereka yang paling keras bersuara tentang perjuangan seringkali justru yang paling malas melihat kenyataan. Mereka hanya akan bilang "Kalau mau, semua juga bisa" padahal tidak semua orang memulai perjuangannya dari titik nol. Mana ada orang yang bilang mulai dari titik nol tapi menyebarkan cerita bahwa keluarganya bangkrut, lalu pergi ke Amerika dan pulang lagi ke Indonesia untuk membuka usaha?

Sedangkan sebagian orang yang sering disebut miskin dan malas justru memulai semuanya dari minus. Minus akses, minus arahan, minus dukungan, dan minus kesempatan.

"Saya bekerja keras untuk mendapatkan semuanya."

Ya, tentu. Semua orang bekerja keras untuk apa yang diinginkannya. Tapi kerja kerasnya berbeda. Titik awalnya beda, bentuk dan bebannya juga berbeda. Yang satu dibekali peta, bekal, serta jaminan kegagalan, sementara yang satu hanya berbekal nekat dan insting bertahan hidup. Ini bukan soal iri, tapi soal adil dalam memulai dan menilai.

Bukan salahmu lahir di tempat yang nyaman. Tapi jadi kesalahan kalau kamu marah pada mereka yang berjalan lambat, padahal kamu sendiri naik mobil sementara mereka harus jalan kaki ke sana kemari. Maka, diam sebentar. Lihat sekeliling. Jika kamu sudah sampai lebih dulu, jangan paksa yang lain berlari lebih cepat. Apalagi sambil kamu duduk-duduk di garis finish, menyeruput segelas kopi lalu bilang: "Ah, dasar pemalas."

Mungkin, mereka bukan malas, tapi lelah. Karena beban mereka berbeda dengan beban yang kamu pikul. Alas kakinya berbeda dengan alas kakimu, karena arah pandangmu beda dengan arah pandang mereka. Kamu bisa terus berlari seraya memandang ke depan, dengan badan tegap dan segar bugar. Sedangkan mereka mungkin sesekali harus berhenti, untuk menguatkan punggungnya, menegakkan punggungnya yang bungkuk karena beban beratnya. Sehingga mereka bisa beberapa detik tegak dan meyakinkan matanya bahwa jalan mereka tidak miring, tidak keluar dari jalurnya. Kemudian kembali membungkuk dan berjalan lambat, pelan, tapi penuh harap akan nyaman di masa depan.