Netanyahu Ingin Perluas Operasi Militer dan Kuasai Seluruh Wilayah Palestina

Pemangkasan Kebijakan Militer di Jalur Gaza
Pemerintah Israel akan mengadakan pertemuan kabinet keamanan dalam pekan ini untuk menentukan arah kebijakan berikutnya di Jalur Gaza, setelah upaya perundingan gencatan senjata tidak langsung dengan Hamas berakhir tanpa kesepakatan. Seorang sumber senior Israel menyebut, opsi penggunaan kekuatan militer yang lebih besar kini menjadi pertimbangan serius.
Pada hari Sabtu (2/8/2025), utusan Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengunjungi Israel dan menyampaikan bahwa pihaknya tengah merancang rencana untuk mengakhiri perang secara efektif. Witkoff menyebutkan rencana itu sedang dibahas bersama pemerintah Israel. Sementara itu, beberapa pejabat Israel mewacanakan perluasan operasi militer di Gaza, termasuk kemungkinan mencaplok sebagian wilayah kantong yang kini porak-poranda akibat konflik.
Perundingan di Doha yang digelar baru-baru ini bertujuan merumuskan kesepakatan gencatan senjata selama 60 hari, dengan dukungan penuh dari AS. Dalam periode itu, bantuan kemanusiaan akan disalurkan ke Gaza dan sekitar separuh dari total sandera yang ditahan Hamas akan dibebaskan. Sebagai imbalan, Israel akan melepaskan sejumlah tahanan Palestina.
Usai pertemuan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Steve Witkoff pada Kamis lalu, seorang pejabat senior Israel mengatakan telah tercapai kesepahaman awal antara Israel dan AS. Kesepahaman itu menekankan perlunya beralih dari sekadar gencatan senjata ke perjanjian komprehensif, yang mencakup pembebasan semua sandera, pelucutan senjata Hamas, dan demiliterisasi Jalur Gaza. Itu adalah syarat utama kami untuk mengakhiri perang.
Kunjungan Witkoff disebut sebagai momen krusial dalam upaya diplomatik AS di kawasan. Namun, pejabat Israel yang berbicara pada Minggu (3/8/2025) mengindikasikan bahwa peluang tercapainya kesepakatan makin menipis. Ada pemahaman yang berkembang bahwa Hamas tidak berminat pada kesepakatan apa pun. Karena itu, perdana menteri mendesak pembebasan sandera sambil terus menekan upaya kemenangan militer.
Sumber dari Kantor Perdana Menteri Israel pada Senin menyebutkan bahwa Netanyahu kini condong untuk memperluas operasi militer dan merebut seluruh wilayah Palestina. Di internal kepemimpinan Israel, masih terjadi perdebatan mengenai makna dari “kemenangan militer” tersebut. Beberapa pejabat menyarankan pencaplokan sebagian wilayah Gaza sebagai langkah strategis untuk menekan Hamas.
Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir bahkan mendorong agar Israel menerapkan pemerintahan militer di Gaza terlebih dahulu, sebelum mencaplok dan membangun kembali permukiman Yahudi yang telah ditinggalkan dua dekade lalu. Militer Israel yang sebelumnya menolak gagasan pencaplokan, dijadwalkan hadir dalam pertemuan Selasa hari ini untuk mempresentasikan skenario alternatif.
Dua pejabat pertahanan menyatakan, salah satu opsi adalah memperluas operasi ke wilayah Gaza yang sejauh ini belum dijangkau. Namun, militer juga mengingatkan bahwa langkah ini berisiko terhadap keselamatan sekitar 20 sandera yang diduga masih hidup.
Radio Angkatan Darat Israel pada Senin melaporkan, Panglima Militer Eyal Zamir makin frustrasi terhadap ketidakjelasan arah kebijakan politik saat ini, yang dinilainya bisa menyeret Israel ke dalam perang jangka panjang melawan Hamas. Seorang juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Letkol Nadav Shoshani, menolak mengomentari laporan tersebut. Namun ia menegaskan, militer telah menyiapkan berbagai skenario.
“Kami memiliki sejumlah metode untuk menghadapi organisasi teror, dan itulah yang sedang dijalankan militer,” ujarnya.
Dukungan Internasional dan Respons Hamas
Pada hari yang sama, Qatar dan Mesir menyatakan dukungan terhadap deklarasi bersama Perancis dan Arab Saudi, yang menyerukan solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina. Pernyataan tersebut juga mendesak Hamas untuk menyerahkan senjata kepada Otoritas Palestina yang diakui secara internasional. Namun, Hamas menolak permintaan itu. Kendati demikian, menurut tiga pejabat Hamas, kelompok tersebut menyatakan bersedia meninggalkan pemerintahan di Gaza dan menyerahkan kekuasaan kepada badan non-partisan, jika ada kesepakatan internal Palestina.
Hamas menegaskan, pengaturan pascaperang di Gaza harus ditentukan oleh rakyat Palestina sendiri, bukan dipaksakan oleh pihak asing. Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar menyatakan pada Senin bahwa jarak antara posisi kedua belah pihak masih sangat jauh.
“Kami ingin semua sandera kembali. Kami ingin perang ini berakhir. Kami selalu lebih suka mencapainya lewat jalur diplomatik, bila memungkinkan. Tapi tentu saja, pertanyaan terbesarnya adalah, apa saja syarat untuk mengakhiri perang ini?” kata Saar kepada awak media di Yerusalem.