One Piece di Dalam Ruang Sekaligus

One Piece di Dalam Ruang Sekaligus

Kehadiran One Piece dalam Ruang Sekaligus

Agustus kali ini terasa begitu berat. Bendera Merah Putih, yang biasanya menjadi simbol kebanggaan dan identitas nasional, tampaknya kini hanya menjadi pengingat akan kesedihan dan ketidakadilan. Angin yang mengibarkan bendera itu seolah membawa irama musik yang tragis, memperkuat perasaan duka yang meliputi seluruh masyarakat. Warna putih bendera mulai berubah menjadi kelabu, sementara merahnya semakin luntur, seperti jiwa yang terkubur di balik beban berat.

Bendera ini tidak lagi hanya sekadar simbol negara, tetapi juga representasi dari perasaan yang terpendam. Banyak orang, termasuk para nelayan, supir truk, hingga masyarakat menengah ke bawah, merasa prihatin melihat kondisi bendera tersebut. Mereka tak bisa melihat bendera itu direndahkan dan dihancurkan tanpa merasa sedih. Di tengah situasi ini, muncul kebutuhan untuk memiliki semangat yang kuat, seperti yang terdapat dalam bendera Jolly Roger dari serial One Piece.

Bendera Jolly Roger Kru Monkey D. Luffy bukan hanya sekadar simbol visual. Ia memiliki makna konotatif yang dalam. Tengkorak dan tulang bersilang menggambarkan perlawanan terhadap otoritas, sementara topi jerami dengan pita merah menggambarkan kaum tertindas yang berjuang untuk kebebasan. Warna hitam yang menyelimuti bendera tersebut menunjukkan penolakan terhadap segala bentuk kekuasaan yang tidak adil.

Dari sudut pandang semiotika, bendera ini menjadi asosiasi retoris dari perlawanan yang dilakukan oleh rakyat terhadap sistem yang tidak demokratis. Semangat yang terkandung dalam bendera tersebut adalah semangat pembebasan, yang sangat relevan dengan situasi saat ini.

Fiksi sebagai Realitas dan Sebaliknya

Pada tahun 2024, saya menulis artikel dengan judul “Cyborg without Organs: Bartholomew Kuma as a Nomadic Subject (A Collective Interpretation on Oda’s One Piece Manga)”. Dalam artikel ini, saya mengidentifikasi One Piece sebagai fiksi populer karena dua alasan utama: pertama, narasi yang dibawakan melampaui bentuk-bentuk konvensional dari karya sastra; kedua, karena karya ini dikonsumsi secara luas dan memengaruhi berbagai budaya.

Ketika fenomena bendera Jolly Roger mulai muncul di berbagai tempat, saya mulai merefleksikan makna fiksi itu sendiri. Bagi sebagian masyarakat, fiksi sering dianggap sebagai khayalan belaka atau artefak imajinatif. Meskipun persepsi ini tidak sepenuhnya salah, karena sebagian struktur fiksi memang dibangun melalui proses imajinatif, namun fiksi juga tidak lepas dari realitas yang ada.

Fiksi tidak lahir dari kosong, seperti yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann. Bahkan ketika sebuah cerita menggambarkan alien di Planet Kepler-59, pengalaman sosial dan historis dari pengarang pasti turut memengaruhi struktur naratifnya. One Piece, misalnya, penuh dengan pengalaman sosial, kultural, dan historis. Sejarah kolonialisasi, korupsi, rasisme, feminisme, serta berbagai isu lain hadir sebagai kristalisasi pengalaman dalam karya tersebut.

Dari hal ini, saya mengasumsikan bahwa pengalaman trans-individual dari Eiichiro Oda membentuk struktur naratif One Piece. Hal ini membuat setiap orang mampu merasakan pengalaman mereka sendiri dalam karya tersebut. Dengan kata lain, pengalaman Oda melebur menjadi pengalaman masyarakat, menciptakan ruang emansipasi bagi semua orang.

Pengibaran Bendera: Masyarakat Bermain di Ruang Sekaligus

Ketika struktur naratif One Piece dimiliki oleh semua orang, maka setiap individu dapat menjadikannya sebagai cermin untuk memantulkan realitasnya. Ketika realitas tersebut dipantulkan dan mampu membangkitkan naluri bermain masyarakat, maka potensi karya ini mampu menciptakan pengalaman atau realitas baru.

Dalam konteks ini, One Piece bukan hanya fiksi, tetapi juga "sekaligus" fakta. Gagasan ini dipengaruhi oleh Jacques Rancière dalam bukunya Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010). Bagi Rancière, seni—termasuk puisi atau karya lain—tidak hanya berada dalam bentuk otonomnya, tetapi prinsip otonomnya juga menjadi bangunan dari pengalaman estetika heterogen. Pengalaman estetis ini memiliki kesetaraan makna dalam kehidupan kita.

Jika pengalaman estetika karya mampu membangun jembatan antara harapan dan kehidupan, maka pengalaman estetika itu efektif sebagai medan politik. One Piece, dalam hal ini, menjadi simbol harapan masyarakat. Pengibaran bendera Jolly Roger Kru Monkey D. Luffy merupakan ekspresi politik atas distribusi otoritas yang tidak demokratis, sekaligus sebagai ekspresi meredistribusi kebebasan.

Saat ini, tatanan kekuasaan yang dominan mulai terganggu oleh ekspresi ini. Berbagai upaya, termasuk tindakan represif dari aparatur negara, dilakukan untuk menekan ekspresi ini. Seperti para Gorosei dan Im Sama di dunia One Piece, mereka khawatir jika Drums of Liberation berbunyi dan berdetak kencang di jantung masyarakat, pada akhirnya jiwa Dewa Nika bangkit dan merasuki tubuh masyarakat, seperti ketika Gear Fifth Luffy aktif dan membebaskan masyarakat dari kekangan totalitarian Orochi dan Kaido selama puluhan tahun di Wano.