Opini: Joko Widodo, Dedy Mulyadi, dan Kebijakan Feodal

Pengertian Feodalisme dan Dampaknya dalam Sosial Politik
Feodalisme adalah sistem pemerintahan yang berakar dari kekuasaan aristokrasi atau bangsawan. Kata ini berasal dari kata "feudum" yang berarti tanah. Sistem ini umumnya mengatur hubungan antara pemilik tanah dengan petani atau rakyat biasa, di mana pemilik tanah memiliki kekuasaan besar atas ekonomi, politik, dan sosial.
Dalam KBBI, feodalisme didefinisikan sebagai sistem sosial atau politik yang memberi kekuasaan besar kepada golongan bangsawan. Istilah ini pertama kali muncul di Prancis pada abad ke-16. Ada tiga prinsip utama dalam feodalisme: kekuasaan, kekerabatan, dan pengkultusan. Kekuasaan sentral pada satu pemimpin, kekerabatan hanya terbatas pada kelompok tertentu, dan pengkultusan terhadap pemimpin yang sering dikaitkan dengan mitos.
Selain itu, Bayu Ardi Isnanto menyebutkan empat orientasi feodalisme, yaitu harta, tahta, wanita, dan pengaruh. Penguasa feodal selalu berorientasi pada harta kekayaan, khususnya tanah. Mereka menjadikan rakyat sebagai alat untuk memperluas kekayaan mereka. Tahta merujuk pada jabatan atau posisi tertentu yang diberikan kepada orang-orang dekat penguasa. Wanita sering menjadi objek kekuasaan, terutama dalam bentuk perbudakan. Filsuf seperti Jean-Jacques Rousseau dan Karl Marx memberikan kritik terhadap sistem ini.
Rousseau menilai feodalisme menciptakan kesenjangan sosial yang besar antara kelas atas dan bawah. Ia menyebut sistem ini tidak adil karena hanya segelintir orang yang menikmati keuntungan. Marx melihat feodalisme sebagai bentuk masyarakat yang melelahkan sebelum kapitalisme. Ia berpendapat bahwa sistem ini menciptakan bencana ekonomi karena upah pekerja sangat rendah dan pendapatan sebagian besar dihasilkan oleh tuan tanah. Oleh karena itu, Marx menyarankan rakyat jelata untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Sistem feodalisme memang sulit diterima dalam konteks modern, terutama di negara dengan mayoritas petani seperti Indonesia. Pemimpin yang lahir dari sistem ini sering kesulitan untuk memahami kebutuhan rakyat kecil. Mereka lebih terbiasa dengan gaya hidup yang mewah dan tidak bisa hidup di tengah rakyat yang susah. Ini membuat mereka sulit mendekati dan menyatu dengan masyarakat sederhana.
Figur Pemimpin yang Berbeda dari Sistem Feodal
Dua figur pemimpin yang populer di Indonesia adalah Joko Widodo (Jokowi) dan Dedy Mulyadi. Keduanya memiliki latar belakang yang jauh dari istilah mewah. Jokowi lahir dari keluarga pedagang kayu dan bambu di Solo. Ayahnya bekerja sebagai tukang kayu, sedangkan ibunya bekerja sebagai penjual. Keluarga Jokowi mengalami kesulitan finansial, termasuk kesulitan membayar uang sekolah dan mencari makan.
Sementara itu, Dedy Mulyadi juga berasal dari keluarga biasa. Ayahnya adalah pensiunan tentara yang bertugas menjaga kebun karet. Meski memiliki latar belakang yang sederhana, keduanya berhasil menjadi pemimpin yang disukai oleh masyarakat.
Mereka berdua memiliki kemampuan untuk hadir di tengah masyarakat, bahkan turun ke lapangan dan bersama rakyat. Mereka tidak jijik dengan kehidupan petani dan orang sederhana. Kemampuan ini memungkinkan mereka memahami kerinduan rakyat kecil dan memberikan solusi nyata.
Kritik terhadap Kepemimpinan Feodal
Jokowi dan Dedy Mulyadi, dalam konteks tertentu, menjadi kritik terhadap kepemimpinan feodal. Pertama, Indonesia butuh pemimpin yang bisa dekat dengan rakyat, terutama petani dan orang sederhana. Kedua, calon pemimpin dari masyarakat sipil perlu apresiasi dan dikritik jika tidak bijak. Ketiga, demi kemajuan bangsa, spirit kepemimpinan feodal harus ditinggalkan.