Perbedaan Nilai Ekspor Impor Indonesia-AS: Transshipment atau Penyelundupan?

Featured Image

Masalah Transshipment dan Dampaknya pada Perdagangan Indonesia-AS

Salah satu isu yang muncul dalam kesepakatan tarif antara Presiden Donald Trump dan Pemerintah Indonesia adalah praktik alihmuat atau transshipment. Praktik ini merujuk pada pengiriman barang dari negara pihak ketiga, terutama Tiongkok, melalui Indonesia sebelum akhirnya masuk ke pasar Amerika Serikat (AS). Hal ini memicu pertanyaan tentang seberapa besar impor asal Indonesia yang sebenarnya berasal dari negara lain.

Di sisi lain, indikasi adanya transshipment dianggap penting bagi Indonesia. Tuduhan serupa juga dialami oleh beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam. Isu ini menjadi perhatian khusus dalam konteks kesepakatan tarif yang telah dicapai antara kedua belah pihak.

Berdasarkan data dari situs trademap, terdapat selisih yang signifikan antara catatan ekspor Indonesia dan pencatatan impor AS. Selisih tersebut mencapai antara US$3 miliar hingga US$9 miliar dalam tiga tahun terakhir. Artinya, nilai ekspor Indonesia ke AS lebih rendah dibandingkan nilai impor AS dari Indonesia.

Pada 2022, misalnya, nilai impor AS dari Indonesia mencapai US$37,2 miliar, sedangkan ekspor Indonesia ke AS hanya sebesar US$28,2 miliar. Di tahun berikutnya, 2023, ekspor Indonesia ke AS turun menjadi US$23,3 miliar, sementara impor AS dari Indonesia mencapai US$28,1 miliar. Pada tahun lalu, nilai impor AS dari Indonesia meningkat menjadi US$29,5 miliar, sementara ekspor Indonesia hanya sebesar US$26,3 miliar.

Selisih pencatatan ini juga terjadi pada komoditas utama Indonesia yang diekspor ke AS. Misalnya, ekspor produk elektronik, mesin, dan komponennya ke AS pada tahun lalu tercatat sebesar US$4,1 miliar, namun AS mencatat nilai impor sebesar US$4,8 miliar. Ekspor produk alas kaki ke AS senilai US$2,3 miliar, sedangkan AS mencatat nilai impor sebesar US$2,6 miliar. Sementara itu, ekspor minyak nabati Indonesia ke AS hanya sebesar US$1,7 miliar, tetapi AS mencatat impor sebesar US$2,1 miliar.

Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyatakan bahwa selisih pencatatan ekspor dan impor tersebut bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Namun, menurutnya, perbedaan kode HS (Harmonized System) tidak cukup untuk menjelaskan selisih yang begitu besar. Ia menegaskan bahwa data yang diperoleh dari trademap seharusnya bisa sesuai.

Namun, perbedaan pencatatan ini belum tentu menunjukkan adanya transshipment. Menurut Nailul, alihmuat lebih umum terjadi pada komoditas hasil tambang, yang pengawasannya lebih longgar dibandingkan produk manufaktur. Produk manufaktur biasanya melewati pelabuhan utama yang lebih ketat dalam pengawasan.

Salah satu dugaan Nailul adalah adanya upaya mengurangi nilai ekspor yang dilaporkan. "Ini berkaitan dengan setoran pajak atau bea keluar," ujarnya.

Terkait isu transshipment, pelaku usaha mengaku dirugikan. Direktur Eksekutif API Danang Girindrawardana menyatakan bahwa praktik transshipment umumnya menggunakan surat keterangan asal (SKA) atau certificate of origin (COO) dalam proses impor. "Ada tiga perusahaan di Indonesia yang sudah terkena tindakan antidumping di AS karena melakukan transshipment. Ini sudah lama, jadi kita perlu menghindari praktik ini," katanya.

Bagi Indonesia, praktik ini sangat merugikan. Terlebih, Presiden AS Donald Trump mengancam akan menambahkan tarif negara asal jika ada barang yang melalui transshipment dari negara dengan tarif tinggi. Contohnya, jika AS memberlakukan tarif 30% untuk barang asal Tiongkok, maka barang yang melakukan transshipment lewat Indonesia akan dikenai tarif 49% (19% tarif Indonesia ditambah 30% tarif Tiongkok).