Polemik Royalti Lagu: Menemukan Keseimbangan di Tengah Kekacauan dengan Pendekatan Kurva Laffer

Ketidakjelasan Royalti dan Hak Cipta Lagu di Indonesia
Ketidakjelasan seputar royalti dan hak cipta lagu di Indonesia saat ini telah menciptakan kekisruhan yang kian rumit. Kondisi ini seperti lingkaran setan, di mana musisi dan pencipta lagu saling bersengketa, sementara pengusaha kafe hingga pusat perbelanjaan merasa terbebani. Akibatnya, lagu-lagu Indonesia yang sebenarnya sedang berkembang, terancam menjadi asing di negerinya sendiri.
Penyanyi kelas kafe maupun yang sudah memiliki nama besar kini mulai enggan menyanyikan lagu milik musisi lain, dan tempat publik seperti kafe memilih memutar musik instrumental atau lagu dari luar negeri. Alasan mereka sederhana, yaitu menghindari sanksi hukum dan denda, meskipun kita tahu bahwa mematuhi aturan tentang hak cipta termasuk membayar royalti lagu itu wajib hukumnya. Hal ini tentu saja merugikan semua pihak dan bisa menghambat pertumbuhan ekosistem musik lokal.
Apa Itu Royalti?
Sebelum masuk ke akar masalahnya, penting untuk memahami apa itu royalti. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, royalti adalah hak ekonomi dari seorang pencipta atau pemilik hak cipta atas karyanya. Dalam konteks lagu dan musik, hak ini muncul ketika lagu digunakan untuk tujuan komersial, misalnya diputar di kafe, disiarkan di radio, atau dibawakan di konser. Tujuan adanya royalti adalah memastikan para seniman bisa mendapatkan penghasilan yang layak dari karya mereka, sehingga mereka bisa terus berkreasi.
Masalahnya, bagaimana sistem penarikan dan pendistribusian royalti ini bisa berjalan dengan adil dan efisien di Indonesia.
Akar Masalah: Regulasi Kurang Jelas, Pelaksanaannya Kacau
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki regulasi yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik. Aturan ini mewajibkan setiap pelaku usaha yang menggunakan musik untuk tujuan komersial membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun, celah hukum muncul dari adanya multitafsir antara kedua regulasi tersebut.
Di satu sisi, UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari karyanya. Di sisi lain, PP 56/2021 mengharuskan pembayaran royalti untuk layanan publik yang bersifat komersial melalui LMKN. Inilah yang menjadi pemicu perdebatan direct licensing (lisensi langsung) yang diusung oleh beberapa musisi. Mereka berpendapat bahwa hak eksklusif mereka memberi mereka wewenang untuk memberikan izin langsung, di luar sistem kolektif yang dikelola LMK/LMKN.
Kondisi ini diperparah oleh pelaksanaannya di lapangan yang masih kacau. Pengusaha bingung karena ditagih oleh berbagai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berbeda. Mereka juga merasa tidak ada transparansi mengenai alokasi dana royalti yang dibayarkan. Sehingga munculah kasus-kasus nyata yang memicu kekhawatiran, diantaranya:
- Kasus Mie Gacoan Bali: Gerai Mie Gacoan di Bali ditetapkan sebagai tersangka karena memutar lagu tanpa izin dari pemilik hak cipta. Kasus ini menjadi preseden penting yang menunjukkan risiko hukum nyata bagi pengusaha.
- Kasus Agnez Mo vs. Ari Bias: Pencipta lagu Ari Bias menggugat Agnez Mo karena menyanyikan lagu "Bilang Saja" di tiga konser tanpa izin. Pengadilan memutuskan Agnez Mo bersalah dan harus membayar ganti rugi Rp 1,5 miliar.
- Kasus Vidi Aldiano vs. Keenan Nasution: Musisi senior Keenan Nasution menggugat Vidi Aldiano senilai Rp 24,5 miliar atas dugaan pelanggaran hak cipta lagu "Nuansa Bening."
Pendekatan Ala Kurva Laffer Bisa Menjadi Pilihan Solusi
Untuk keluar dari kekisruhan ini, menurut pandangan sederhana saya, bisa menggunakan alternatif pendekatan ekonomi yang disebut Kurva Laffer. Kurva ini sejatinya menjelaskan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan pajak, dan dalam konteks ini kita analogikan dengan sistem royalti. Konsep ini dipopulerkan oleh ekonom Amerika Serikat, Arthur Laffer, pada tahun 1970-an. Saat itu, ia memaparkan idenya di atas serbet makan malam.
Laffer berpendapat, jika tarif pajak terlalu tinggi, orang akan malas bekerja atau berproduksi, sehingga penerimaan pajak malah turun. Konsep ini terinspirasi dari pemikiran ekonom muslim abad ke-14, Ibnu Khaldun.
Cara Kerja Kurva Laffer
Kita analogikan royalti sebagai "pajak" atas penggunaan karya musik. Sumbu X: Tarif royalti dan tingkat kerumitan sistem pembayaran. Sumbu Y: Total pendapatan royalti yang terkumpul secara nasional. Kurva ini menunjukkan bahwa ada titik keseimbangan optimal. Jika tarif royalti terlalu rendah, pendapatan yang terkumpul akan sedikit. Namun, jika tarif royalti dan kerumitan sistemnya terlalu tinggi, pengusaha akan memilih menghindar, sehingga pendapatan royalti justru menurun drastis.
Kondisi saat ini, dengan tarif yang dianggap mahal dan proses yang rumit, menempatkan kita di sisi kanan kurva. Akibatnya, alih-alih meningkatkan pendapatan musisi, sistem ini justru membuat total royalti yang terkumpul anjlok karena banyak pengusaha yang memilih untuk tidak membayar dan secara "tak sengaja" mengasingkan lagu Indonesia dari tanah kelahirannya sendiri.
Menuju Titik Keseimbangan, Menggeser Posisi pada Kurva Laffer
Untuk mencapai titik optimal dan mengembalikan lagu Indonesia ke tempatnya, kita harus menggeser posisi dari sisi kanan kurva ke titik puncaknya. Caranya adalah dengan mengurangi "beban pajak" secara efektif, bukan hanya dari sisi tarif, melainkan dari sisi kerumitan dan ketidakjelasan.
Berikut langkah-langkah strategis untuk mencapai hal tersebut:
- Sistem Satu Pintu yang Efisien: Pemerintah harus mempercepat implementasi Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM). Dengan data terpusat, LMKN bisa berfungsi sebagai satu-satunya pintu pembayaran royalti. Ini akan memangkas kerumitan sistem (mengurangi beban di sumbu X), sehingga pengusaha lebih bersedia membayar.
- Transparansi Total: LMK dan LMKN harus memastikan sistem pendistribusian royalti sangat transparan. Musisi berhak tahu berapa kali lagu mereka diputar dan bagaimana perhitungan royaltinya. Transparansi akan membangun kepercayaan dan mendorong kepatuhan, sehingga lebih banyak pihak yang membayar dan meningkatkan total pendapatan royalti.
- Tarif yang Rasional dan Berkeadilan: Tarif royalti harus disesuaikan dengan skala dan jenis usaha. Ada perbedaan antara bisnis kecil (UMKM) dan perusahaan besar. Keringanan tarif untuk UMKM akan membuat mereka tidak lagi takut dan bersedia membayar royalti, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah pembayar dan mengoptimalkan total pendapatan royalti secara keseluruhan.
Dengan menjadikan sistem pembayaran royalti lebih mudah, adil, dan transparan, kita bisa menggeser posisi dari sisi "pajak terlalu tinggi" ke titik keseimbangan. Pada titik ini, pengusaha bersedia membayar, musisi mendapatkan haknya, dan ekosistem musik Indonesia bisa kembali berputar dengan sehat tanpa adanya kekisruhan.
Kesimpulan
Permasalahan royalti lagu di Indonesia saat ini bukanlah semata-mata soal tidak adanya aturan, melainkan akibat dari ketidakselarasan antara regulasi yang terkesan kurang ajeg yang membuka celah multi tafsir dengan implementasi di lapangan yang kacau. Fenomena enggannya para penyanyi membawakan lagu milik Anak Bangsa dan para pemilik kafe yang ogah memutar lagu milik musisi Tanah Air serta sengketa antar musisi menjadi bukti nyata bahwa ekosistem musik lokal sedang berada di titik yang genting, mengancam lagu-lagu Indonesia menjadi asing di negerinya sendiri.
Untuk menyelesaikan polemik ini, dalam pandangan saya pilihan pendekatan Kurva Laffer bisa menawarkan solusi yang komprehensif. Dengan menganalogikan royalti sebagai "pajak," kita dapat melihat bahwa kondisi saat ini berada di sisi kanan kurva, di mana tarif yang dianggap tinggi dan sistem yang rumit justru membuat pendapatan royalti menurun dan lagu milik para musisi tanah air tak lagi mendapatkan tempat ditelinga dan hati para penggemarnya.