Presiden Meksiko Menolak Rencana Invasi Militer AS

Featured Image

Penolakan Meksiko terhadap Ancaman Intervensi Militer AS

Presiden Meksiko, Claudia Sheinbaum, secara tegas menolak kemungkinan adanya invasi militer oleh Amerika Serikat (AS) ke wilayah negaranya. Pernyataan ini muncul setelah beredarnya laporan bahwa Presiden AS, Donald Trump, telah menandatangani perintah eksekutif rahasia yang memberi izin bagi operasi militer terhadap kartel narkoba di kawasan Amerika Latin.

Sheinbaum mengungkapkan bahwa ia telah mendapatkan informasi tentang perintah tersebut, namun menegaskan bahwa tidak ada personel militer AS yang akan hadir di wilayah Meksiko. Ia menyampaikan pernyataannya dengan tegas, menekankan bahwa tidak ada risiko invasi yang akan terjadi.

“Tidak akan ada invasi ke Meksiko. Itu tidak ada hubungannya dengan partisipasi personel militer atau institusi apa pun di wilayah kami. Tidak ada risiko bahwa mereka akan menginvasi wilayah kami,” ujarnya.

Laporan awal tentang perintah rahasia tersebut pertama kali diungkap oleh media internasional. Dokumen tersebut memberikan dasar resmi bagi militer AS untuk melakukan operasi langsung, baik di laut maupun wilayah asing, terhadap kelompok kriminal penyelundup narkoba. Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan pemerintah Meksiko dan organisasi internasional.

Meksiko Menegaskan Kedaulatan Wilayah

Menanggapi kekhawatiran intervensi asing, Sheinbaum kembali menegaskan sikap Meksiko terkait kedaulatan negara. Ia mengingatkan tentang percakapan yang pernah dilakukan dengan Trump terkait isu tersebut.

“Ia bilang kepadaku, ‘Tidak, Presiden Trump, wilayah kami tidak dapat diganggu gugat, kedaulatan kami tidak dapat diganggu gugat, kedaulatan kami tidak untuk dijual’,” ujar Sheinbaum.

Penetapan kartel sebagai organisasi teroris memperluas ruang lingkup penegakan hukum oleh AS. Pemerintah AS bisa menarget siapa pun yang memberikan dukungan material kepada kelompok tersebut. Namun, seorang pejabat AS yang berbicara secara anonim menyebut bahwa tidak ada aksi militer yang akan segera dilakukan.

Kritikus memperingatkan bahwa kebijakan itu dapat berdampak pada warga sipil di wilayah yang dikendalikan geng. Banyak dari mereka dipaksa mendukung kelompok tersebut dan bisa turut terkena sanksi akibat klasifikasi baru ini.

Pemerintah AS Mengklasifikasikan Kartel sebagai Teroris

Pada Februari 2025, pemerintahan Trump menetapkan delapan kelompok penyelundup narkoba sebagai organisasi teroris asing. Enam di antaranya berasal dari Meksiko, sementara sisanya dari Venezuela dan El Salvador. Kelompok-kelompok ini termasuk Kartel Sinaloa, Tren de Aragua, dan Mara Salvatrucha (MS-13), yang kini digolongkan sekelas dengan al-Qaeda, Kelompok Militan (ISIL/ISIS), dan Boko Haram.

Gedung Putih menyebut kelompok-kelompok tersebut sebagai ancaman keamanan nasional yang melebihi organisasi kriminal biasa. Pemerintah AS menuding mereka menyusup ke dalam pemerintahan asing di seluruh belahan Barat. Langkah ini dianggap sebagai upaya memperluas kewenangan terhadap kelompok-kelompok tersebut.

Dua minggu sebelum 8 Agustus, Kartel Venezuela of the Suns ditambahkan ke dalam daftar. Kelompok itu dituduh menyelundupkan ratusan ton narkotika ke AS selama dua dekade. Pada Kamis (7/8/2025), Departemen Kehakiman AS menggandakan hadiah menjadi 50 juta dolar AS (setara Rp814 miliar) bagi siapa pun yang memberi informasi soal Presiden Venezuela, Nicolás Maduro, yang dituduh memimpin kartel itu.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio membenarkan bahwa perintah itu memungkinkan militer dan badan intelijen untuk bertindak. Ia menambahkan bahwa kartel harus diperlakukan sebagai organisasi teroris bersenjata, bukan hanya penyelundup narkoba.

“Ini memungkinkan kami untuk menargetkan apa yang mereka operasikan dan menggunakan elemen lain dari kekuatan Amerika, badan intelijen, Departemen Pertahanan, apa pun … untuk menargetkan kelompok-kelompok ini jika kami memiliki kesempatan untuk melakukannya,” katanya.

Perintah Trump Dinilai Langgar Hukum Internasional

Pemerintahan Trump juga telah mengerahkan ribuan tentara aktif, drone, dan pesawat mata-mata ke perbatasan barat daya AS. Tujuannya adalah untuk menghentikan peredaran narkoba, khususnya fentanyl, serta mengendalikan imigrasi. Jika dikonfirmasi, perintah eksekutif terbaru ini akan menjadi eskalasi besar dalam taktik AS di kawasan Amerika Latin.

Sejumlah kekhawatiran hukum dan etika mulai mencuat. Undang-undang Posse Comitatus Act tahun 1878 melarang militer AS bertindak sebagai aparat penegak hukum di dalam negeri. Di sisi lain, hukum internasional seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membatasi aksi militer lintas negara kecuali untuk membela diri.

Pakar hukum juga memperingatkan bahwa menyerang individu di luar situasi perang dapat melanggar hukum humaniter internasional. Isu ini menciptakan dilema legal sekaligus reputasi bagi AS di mata dunia.

Hubungan AS dengan negara-negara Amerika Latin ikut memanas. Baru-baru ini, Trump memberlakukan tarif tinggi terhadap Brasil demi mempengaruhi proses hukum terhadap sekutunya, eks Presiden Brasil, Jair Bolsonaro. Tindakan itu langsung dikecam Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, yang menyebutnya sebagai tindakan yang tidak dapat diterima dan upaya mencampuri kedaulatan negaranya.