Prosedur Presiden Mengeluarkan Amnesti dan Abolisi Sesuai Aturan

Featured Image

Penetapan Pemberian Amnesti dan Abolisi oleh DPR

DPR telah menyetujui pemberian amnesti kepada sejumlah individu yang terpidana, termasuk Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Keputusan ini diambil setelah Presiden Prabowo mengajukan permohonan melalui surat presiden dengan nomor R43/Pres 07.2025 tanggal 30 Juli 2025.

Amnesti dan abolisi merupakan dua bentuk hak prerogatif presiden yang berkaitan dengan penghapusan konsekuensi hukum pidana. Dalam konferensi pers di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Kamis, 31 Juli 2025, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa DPR telah melakukan rapat konsultasi dan memberikan pertimbangan serta persetujuan terhadap usulan tersebut.

DPR juga menyetujui usulan Presiden untuk memberikan amnesti kepada total 1.116 orang yang telah terpidana. Menurut Dasco, pemberian amnesti ini dilakukan sebagai bagian dari upaya memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini semakin relevan karena Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 pada 17 Agustus mendatang.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan alasan pemerintah memberikan amnesti kepada seribuan terpidana. Tujuan utamanya adalah menciptakan rasa persatuan di tengah masyarakat. "Pertimbangannya pasti demi kepentingan bangsa dan negara," ujarnya dalam pernyataan di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 31 Juli 2025.

Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro juga menyampaikan pandangan serupa. Ia menekankan bahwa Prabowo memiliki prinsip bahwa semua elemen masyarakat harus bersama-sama dan bergotong royong jika ingin maju. Oleh karena itu, pemerintah akan mengambil kebijakan politik yang bertujuan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

"Jadi misalkan pemberian abolisi, amnesti, atau juga kebijakan lain yang bisa dimaknai dan bisa menjadi faktor mempererat, mempersatukan, seluruh elemen bangsa akan dilakukan oleh Bapak Presiden," kata Juri di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 1 Agustus 2025.

Juri menjelaskan alasan mengapa pemberian abolisi dan amnesti baru dilakukan saat ini. Proses hukum terhadap Tom Lembong dan Hasto baru saja selesai. Dengan keputusan ini, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Tom Lembong dan Hasto tidak perlu mengajukan banding lagi setelah mendapat abolisi dan amnesti.

Yusril menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi terhadap Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Pasal 1 UU Nomor 11 Tahun 1954 menyebutkan bahwa Presiden memiliki wewenang untuk memberikan amnesti dan abolisi demi kepentingan negara. Namun, sebelum dikeluarkan, presiden harus terlebih dahulu memperoleh nasihat tertulis dari Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Kehakiman.

Selain itu, amnesti dapat diberikan tanpa harus melalui pengajuan permohonan. Meskipun wewenang ini berada di tangan Presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, pelaksanaannya tetap harus mempertimbangkan pendapat DPR sebagai bentuk kontrol antar lembaga.

"Pertimbangan itu sudah dimintakan oleh Presiden melalui surat kepada DPR RI dan Pak Presiden juga telah mengutus dua menteri, yaitu Menteri Hukum dan Menteri Sekretaris Negara," kata Yusril dalam pesan video yang diterima Tempo, Jumat, 1 Agustus 2025.

Yusril menuturkan, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 1954, apabila seseorang atau sekelompok orang diberikan amnesti, segala akibat hukum dari tindak pidana yang dilakukan dihapuskan. Kemudian, abolisi juga akan menghapus segala penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok.

Dengan amnesti ini, kata Yusril, segala proses hukum yang dilakukan terhadap Hasto otomatis dihapuskan. "Maka dengan pemberian abolisi, segala proses penuntutan dihapuskan. Jadi dianggap tidak ada penuntutan," ujarnya.

Eka Yudha Saputra dan Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.