Reformasi Agraria 1.550 Hektar, BBT Lawan Mafia Tanah di Poso

Perjuangan Badan Bank Tanah dalam Menghadapi Mafia Tanah
Perjalanan Badan Bank Tanah (BBT) di Sulawesi Tengah tidak hanya berfokus pada administrasi lahan, tetapi juga melibatkan perlawanan terhadap praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat. Di tengah maraknya jual-beli tanah negara, BBT hadir dengan pendekatan persuasif dan program Reforma Agraria yang inovatif untuk memulihkan hak-hak masyarakat.
Sulawesi Tengah memiliki sejarah kelam terkait praktik ilegal jual-beli tanah negara, khususnya di lahan-lahan bekas Hak Guna Usaha (HGU). Para mafia memanfaatkan kesalahpahaman masyarakat yang mengira tanah bekas HGU akan kembali ke rakyat, padahal statusnya kembali ke negara. Sejak 2019, banyak kasus serupa terjadi dengan penguasaan lahan ilegal seluas lebih dari 100 hektar per orang.
Namun, Badan Bank Tanah berhasil mengatasi sebagian besar kasus ini dengan pendekatan persuasif, yaitu dengan memberikan edukasi hukum kepada para pelaku. Sekretaris Badan Bank Tanah Jarot Wahyu Wibowo menjelaskan bahwa BBT telah mengembalikan hak tanah kepada 142 kepala keluarga korban konflik masa lalu. Lahan seluas 16-19 hektar itu kini memiliki kepastian hukum dan bahkan sudah menjadi sebuah desa. Ini membuktikan bahwa Badan Bank Tanah bukanlah lembaga yang merampas tanah rakyat, melainkan manajer lahan negara yang bekerja untuk kepentingan rakyat.
Reforma Agraria sebagai Senjata Keadilan Ekonomi
Reforma Agraria menjadi "senjata" andalan Badan Bank Tanah. Program ini dirancang tidak hanya untuk memberikan tanah, tetapi juga untuk menciptakan pemerataan ekonomi yang berkeadilan. Sayangnya, program ini seringkali gagal dipahami masyarakat awam karena narasinya yang terlalu "melangit." Jarot mengakui, penting untuk menyederhanakan bahasa Reforma Agraria agar mudah dicerna, misalnya dengan istilah "tanah gratis dari Bank Tanah" untuk menarik perhatian dan membangun kesadaran masyarakat.
Tantangan lainnya adalah mencegah tanah yang diberikan agar tidak langsung dijual kembali. Berdasarkan pengalaman di Sukabumi, Jawa Barat, sertifikat yang baru diserahkan kepada masyarakat langsung berpindah tangan di belakang panggung. Karena itulah, program Reforma Agraria dari Bank Tanah memberikan Hak Pakai selama 10 tahun sebelum menjadi Hak Milik, dengan tujuan memberikan pengawasan dan pendampingan agar tanah tersebut benar-benar produktif.
Badan Bank Tanah sendiri telah mengamankan 1.550 hektar untuk Reforma Agraria dari total 6.648 hektar Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Kabupaten Poso. Sisanya diperuntukan sebagai Badan Air 6,42 hektar, Sempadan Sungai seluas 315,12 hektar, Perkebunan/Pertanian/Peternakan 3.599,23 hektar, Demplot dan Embung seluas 8,26 hektar, dan Kawasan Industri seluas 119 hektar. Selanjutnya, Kawasan Konservasi 233,88 hektar, Kawasan Pariwisata 255,64 hektar, Kawasan Untuk Kelompok Tani (Kopi) 196,45 hektar, Kawasan Permukiman dan Perkotaan 214 hektar, dan Kawasan Koridor Jalan 150 hektar.
Proses penetapan penerima tanah ini tidak dilakukan sepihak oleh BBT, melainkan melibatkan pemerintah daerah, kepala desa, hingga bupati, yang tergabung dalam Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
Mengembalikan Kejayaan Kakao
Melalui kolaborasi dengan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian MUKM, Badan Bank Tanah kini sedang menggarap potensi besar dari komoditas kakao. Mereka berupaya membangun ekosistem bisnis kakao yang terintegrasi, mulai dari hulu hingga hilir. Mulai dari belanja dan identifikasi masalah terkait ketersediaan bibit kakao berkualitas dan produktivitas rendah yang menjadi masalah utama.
"Banyak lahan kakao juga dialihfungsikan menjadi perumahan," ungkap Jarot. Kemudian mengusulkan neraca Sumber Daya Alam (SDA) di tingkat provinsi, sehingga penggunaan lahan dapat disesuaikan dengan potensi terbaiknya, misalnya kakao di Sigi dan durian di Parigi Moutong. Selanjutnya menciptakan nilai tambah yang akan mendorong petani tidak hanya menjual biji kakao mentah, tetapi juga produk olahan seperti bubuk fermentasi atau produk akhir lainnya.
Langkah ini menunjukkan bahwa Badan Bank Tanah tidak hanya berfokus pada Reforma Agraria, tetapi juga pada pengembangan komunitas dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Dengan kolaborasi multipihak, diharapkan Sulawesi Tengah dapat kembali berjaya sebagai lumbung kakao dan menjadi percontohan bagi daerah lain di Indonesia.