Sapudi: Mutiara Tersembunyi Madura

Perjalanan Menjelajahi Pulau Sapudi, Mutiara Tersembunyi di Ujung Timur Madura
Madura, sebuah pulau yang kini mudah diakses melalui Jembatan Suramadu, menyimpan lebih dari sekadar citra karapan sapi dan soto. Di balik keramaian Surabaya, Madura menawarkan dunia yang tenang, bersahaja, dan penuh dengan kekayaan budaya serta alam yang belum banyak dikenal. Perjalanan ke Madura adalah perjalanan menuju lanskap sejarah, budaya, dan alam yang tersembunyi, terutama ketika kita masuk lebih jauh ke wilayah timur, yakni Kepulauan Sumenep dan Pulau Sapudi.
Perjalanan penulis dimulai dari kenangan akan sahabat lama bernama Hadi Mulyono. Hadi berasal dari Bangkalan, kota yang dulu terasa jauh karena harus diseberangi dengan tongkang, namun kini menjadi dekat berkat hadirnya Jembatan Suramadu. Jembatan ini tidak hanya menghubungkan dua wilayah, tetapi juga dua dunia yang berbeda secara budaya, namun saling melengkapi.
Hadi sering mengajak penulis ke Madura, tapi selalu ada alasan yang membuat penulis tak bisa pergi. Sampai akhirnya, suatu hari, penulis menginjakkan kaki di tanah Madura, bukan hanya di Bangkalan, tapi jauh ke arah timur, yaitu Sumenep. Kota ini memiliki nuansa kolonial yang kental dengan bangunan-bangunan tua yang kini difungsikan sebagai kantor-kantor pemerintahan. Salah satu penanda harmoni di kota ini adalah keberadaan gereja Katolik yang berdiri anggun tanpa memicu kegaduhan. Penduduk setempat menjelaskan bahwa tidak ada kerusuhan berlatar agama, kecuali insiden pengusiran komunitas Syiah beberapa waktu lalu. Di luar itu, suasana hidup masyarakat tetap damai dan harmonis.
Salah satu pengalaman penting adalah bertemu Fadil, seorang mahasiswa asal Pulau Sapudi yang sedang menempuh studi di Malang. Dari Fadil, penulis mengenal wajah lain Madura – wajah yang jarang dibicarakan, tapi sangat berharga dalam lanskap budaya dan ekonomi nasional.
Pulau Sapudi, tempat kelahiran Fadil, adalah bagian dari Kepulauan Sumenep. Letaknya tidak jauh dari daratan utama Madura. Selain dikenal sebagai tempat asal sapi untuk Karapan Sapi, Sapudi juga terkenal karena kualitas kulit sapinya yang luar biasa. Menurut Fadil, kulit sapinya telah lama menjadi incaran para pengrajin sepatu ternama di Italia. "Kulitnya kuat, bagus, dan setelah disamak di sana hasilnya luarbiasa," ujarnya dengan bangga.
Dari cerita Fadil, penulis tahu bahwa Sapudi bukan hanya pulau peternakan, tapi juga destinasi wisata alam yang indah dan belum banyak diketahui publik. Ada empat obyek wisata utama yang patut diperhitungkan:
- Padang Lamun – Kawasan perairan dangkal yang menampilkan keunikan ekosistem saat laut surut. Di sini, terdapat enam jenis flora, ikan-ikan kecil, terumbu karang, serta hutan mangrove. Pengunjung bisa snorkeling atau menyewa perahu untuk menjelajah.
- Hutan Mangrove – Hamparan hijau yang menjadikan suasana pulau lebih asri. Pemerintah setempat menyediakan delman sebagai transportasi wisata, cocok untuk wisata keluarga.
- Pantai Pabetaan – Pantai berpasir putih dengan air laut jernih. Wisatawan bisa snorkeling sambil menikmati keindahan karang laut yang masih alami.
- Dermaga Tarebung – Pintu gerbang utama menuju Pulau Sapudi. Yang paling mencolok adalah mercusuar peninggalan kolonial Belanda yang menjadi latar foto oleh para pelancong.
Selain itu, padang rumput tempat sapi dilepas bebas menjadi jantung kehidupan masyarakat Sapudi. Peternakan sapi bukan hanya aktivitas ekonomi, tapi juga identitas budaya. Anak-anak tumbuh besar melihat sapi sebagai bagian dari kehidupan mereka, bukan sekadar komoditas.
Secara sosial-ekonomi, masyarakat Sapudi cukup sejahtera. Peternakan sapi menjadi warisan turun-temurun, dan dengan keunggulan komparatif kulit sapinya, Sapudi bisa mengakses pasar global. Sayangnya, proses penyamakan kulit belum berkembang di sini. Ini memberi peluang besar untuk hilirisasi industri kulit.
Selain itu, Sapudi juga menjadi contoh tentang bagaimana kekuatan adat dan kearifan lokal masih hidup berdampingan dengan modernitas. Fadil mengakui bahwa masyarakat Sapudi masih menjaga adat-istiadat dan pola hidup tradisional mereka. Inilah daya tarik tersendiri di era globalisasi.
Dalam kerangka kepariwisataan Indonesia, Pulau Sapudi punya potensi menjadi ikon baru wisata bahari, peternakan, dan budaya. Ia bisa ditawarkan sebagai "desa wisata kulit", "pulau sapi rakyat", atau kawasan konservasi. Namun, tantangan seperti aksesibilitas dan branding pariwisata masih perlu diperhatikan.
Perjalanan penulis ke Madura, yang sempat tertunda, membuka mata akan kekayaan yang tersembunyi di balik bayang-bayang Surabaya. Dari gedung kolonial di Sumenep, hingga hijaunya mangrove Sapudi, dari sapi karapan yang melegenda hingga kulit sapinya yang digunakan di sepatu-sepatu mahal Italia – semua adalah potret Indonesia yang luarbiasa. Sapudi adalah narasi lokal dengan resonansi global. Dan seperti mutiara yang masih terbungkus kerang, Sapudi hanya menunggu waktu untuk bersinar lebih terang.