Sosiolog Kritik Masyarakat Melalui Bendera One Piece

Bendera One Piece sebagai Simbol Ekspresi Sosial dan Politik
Pengibaran bendera One Piece menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025 menjadi perhatian khusus dari para pengajar sosiologi. Mereka menilai bahwa tindakan ini bukan sekadar ekspresi hobi atau kegemaran, tetapi memiliki makna yang lebih dalam dalam konteks sosial dan politik. Salah satu tokoh yang menyampaikan pandangan tersebut adalah Ubedilah Badrun, dosen sosiologi di Universitas Negeri Jakarta.
Ubedilah menegaskan bahwa pengibaran bendera bajak laut topi jerami tidak perlu direspons secara berlebihan oleh pemerintah. Ia menilai bahwa simbol-simbol seperti ini muncul sebagai bentuk ekspresi warga negara yang ingin menyampaikan pesan tertentu kepada pihak berwenang. Menurutnya, setiap tanda yang muncul di ruang publik, termasuk media sosial, bisa menjadi representasi dari aspirasi atau kritik terhadap situasi yang sedang terjadi.
Menurut Ubedilah, generasi muda kini lebih akrab dengan simbol-simbol budaya populer untuk menyampaikan keluhan mereka. Dalam lima tahun terakhir, ia mengamati bahwa hampir semua kritik atau aspirasi terhadap pemerintah selalu menggunakan simbol-simbol tertentu. Contohnya, simbol Garuda biru digunakan saat aksi Indonesia Darurat, sedangkan ikon Garuda hitam muncul ketika aksi Indonesia Gelap.
Ia menjelaskan bahwa simbol-simbol tersebut memiliki makna sebagai bentuk kritik atau perlawanan terhadap pemerintah. Melalui simbol-simbol ini, masyarakat menyampaikan berbagai tuntutan, seperti agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dilemahkan, memberantas korupsi sampai ke akarnya, menolak nepotisme, serta memastikan partisipasi yang lebih meaningful dalam pembuatan undang-undang.
Ubedilah mencontohkan beberapa aspirasi lain yang masih relevan hingga saat ini. Misalnya, pentingnya menjaga demokrasi, menegakkan hukum dan keadilan, memberi hak hidup layak bagi buruh, serta menjaga lingkungan. Ia menilai bahwa munculnya simbol baru, yaitu bendera One Piece, sebagai bentuk ekspresi kritik terhadap ketidakadilan dan kondisi sosial yang dirasakan masyarakat.
Dari sudut pandang sosiologis politik, Ubedilah menekankan bahwa bendera One Piece bukan sekadar produk dari sebuah anime. Ia melihatnya sebagai alat penyampaian pesan tentang harapan akan keadilan dan perubahan. Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk tidak meresponsnya secara negatif atau berlebihan.
Hal senada disampaikan oleh Bagong Suyanto, dosen sosiologi di Universitas Airlangga. Menurutnya, pengibaran bendera One Piece merupakan bentuk perlawanan simbolik. Ia menilai bahwa simbol ini mencerminkan rakyat Indonesia yang merasa dijajah dan kehilangan kebebasannya.
Bagong menekankan pentingnya respons pemerintah yang didasarkan pada data objektif, bukan sekadar perang narasi. Ia menilai bahwa jika hanya dibantah tanpa dasar data, masyarakat sulit menerima. Selain itu, ia menilai bahwa penindasan atau pembungkaman tidak akan efektif. Justru, ia menyarankan adanya ruang dialog yang sehat antara pemerintah dan masyarakat.
Salah satu pelaku pengibaran bendera One Piece adalah Kharik Anhar, warga asal Riau. Ia tidak takut pada ancaman pidana yang dilontarkan pemerintah terhadap mereka yang memasang bendera tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak ada pasal yang melarang masyarakat mengibarkan bendera tokoh, klub bola, atau animasi di rumah atau kendaraan.
Kharik juga mengumpulkan warga dan mahasiswa dari berbagai daerah untuk mendukung aksi pengibaran bendera One Piece. Ia mengorganisir kampanye ini agar dapat dipasang secara masif di depan rumah dan disebar melalui media sosial. Sampai saat ini, sudah ada sekitar 320 orang yang tergabung dalam aksi tersebut.