Tentara di NTT Dianiaya: Ibu Prada Lucky: Saya Terima Jika Tewas di Medan Perang, Bukan oleh Senior

Tentara di NTT Dianiaya: Ibu Prada Lucky: Saya Terima Jika Tewas di Medan Perang, Bukan oleh Senior

Duka Mendalam atas Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo

Keluarga Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23) masih terpuruk dalam duka yang mendalam setelah kepergian putranya. Seorang prajurit TNI AD yang baru berdinas selama dua bulan, Lucky meninggal dunia pada Rabu, 6 Agustus 2025 di Rumah Sakit Umum Daerah Aeramo, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Lucky adalah anggota Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere Nagekeo, NTT. Ia meninggal dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, diduga akibat penganiayaan oleh senior-seniornya sendiri. Kejadian ini tidak hanya menyedihkan bagi keluarganya, tetapi juga menggugah perhatian masyarakat luas untuk menuntut keadilan dan transparansi.

Harapan akan Keadilan dari Keluarga

Ibu Lucky, Sepriana, menyampaikan kekecewaannya terhadap proses hukum yang dianggap lambat. Ia tidak hanya ingin keadilan untuk anaknya, tetapi juga sanksi berat bagi para pelaku. “Mati di medan perang saya terima. Itu tugas dia bela negara dan bangsa. Ini mati sia-sia di tangan seniornya. Proses mereka. Pecat. Bila perlu hukuman mati,” ujarnya dengan penuh kemarahan.

Sepriana juga mengklaim bahwa bukan hanya empat orang yang terlibat dalam penganiayaan, melainkan sekitar 20 orang. Ia bahkan menyatakan bahwa jika tidak ada tindakan tegas, ia lebih baik dibunuh agar bisa ikut bersama anaknya.

Kronologi Kematian Lucky

Prada Lucky awalnya mengalami muntah-muntah dan dibawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kota Danga pada 2 Agustus 2025. Setelah kondisinya memburuk, ia dirujuk ke RSUD Aeramo. Selama perawatan, kondisinya sempat membaik pada 3 Agustus, namun kembali memburuk dan dipindahkan ke ruang ICU pada 4 Agustus. Akhirnya, ia menghembuskan napas terakhir pada 6 Agustus 2025.

Komandan Brigade Infanteri (Brigif) 21/Komodo, Letkol Inf Agus Ariyanto, mengonfirmasi kejadian tersebut dan menyatakan bahwa semua penanganan akan diserahkan kepada penyidik Polisi Militer.

Perjuangan Keluarga untuk Keadilan

Jenazah Lucky diterbangkan kembali ke Kota Kupang dengan didampingi kedua orangtuanya, Sersan Mayor Christian Namo dan Sepriana Paulina Mirpey. Di rumah sakit, ayah Lucky menuntut otopsi, tetapi kekecewaan terjadi karena tidak ada dokter forensik yang bisa melakukan prosedur tersebut.

Christian menunjukkan kemarahannya dan menyerukan agar jenazah segera dipindahkan ke rumah sakit lain untuk dilakukan otopsi. Ia mempertanyakan kehadiran negara saat anaknya meninggal dengan cara yang tidak wajar. “Kamu saksikan semua, yang bunuh anak saya sifat PKI, keji. Ingat baik-baik itu,” serunya penuh emosi.

Penangkapan Empat Anggota

Dandim 1625 Ngada, Letkol Czi Deny Wahyu Setiyawan, mengonfirmasi bahwa empat anggota yang diduga terlibat dalam peristiwa tersebut sudah ditahan. “Betul, sudah empat orang yang diamankan di Subdenpom Ende,” ujar Deny. Namun, ia belum mengetahui secara pasti peran dari empat pelaku tersebut.

Sementara itu, Wakil Kepala Penerangan Kodam IX/Udayana, Letkol Inf Amir Syarifudin, menyampaikan dukacita mendalam dan menyatakan bahwa tim investigasi sedang bekerja. Ia menegaskan komitmen Kodam IX/Udayana untuk mengungkap fakta yang sebenarnya.

Tragedi yang Menggugah Kesadaran

Kematian Lucky bukan sekadar kehilangan, tetapi juga menjadi ajang refleksi tentang bagaimana tindakan disiplin harus dilakukan dengan cara yang manusiawi dan tidak merugikan jiwa. Tragedi ini menyoroti urgensi perlunya penegakan hukum dan keadilan dalam institusi militer.

Prada Lucky Chepril Saputra Namo meninggal dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Ia ditemukan dengan luka lebam, sayatan, dan bekas sundutan rokok. Orang tuanya, Serma Christian Namo dan Epi Seprina Mirpey, menuntut keadilan dan mengungkap banyak kejanggalan, termasuk sulitnya komunikasi dan penolakan autopsi oleh rumah sakit.