Tersangka Korupsi CSR BI-OJK Berujung di DPR?

Penyidik KPK Terus Selidiki Kasus Korupsi Dana CSR BI dan OJK
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) semakin terkuak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua anggota DPR periode 2019–2024 ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Mereka adalah Heri Gunawan alias HG dan Satori alias ST.
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa penyidik sedang mengembangkan kasus ini untuk menemukan fakta-fakta baru. Menurut pengakuan dari ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI juga menerima dana bantuan sosial tersebut. Hal ini menunjukkan adanya indikasi keterlibatan pihak-pihak lain dalam skandal ini.
Dari hasil penyidikan, HG menerima total uang sebesar Rp15,86 miliar, sedangkan ST menerima sebesar Rp12,52 miliar. Uang tersebut diduga digunakan untuk kebutuhan pribadi seperti pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian mobil. Sementara itu, ST menggunakan dana untuk deposito pribadi, pembelian tanah, pembangunan showroom, serta pembelian kendaraan roda dua dan aset lainnya.
Alur Penyaluran Dana CSR yang Tidak Transparan
Kronologi kasus ini dimulai dari pembentukan Panitia Kerja (Panja) Komisi XI DPR untuk membahas pendapatan dan pengeluaran anggaran mitra kerja, termasuk BI dan OJK. Rapat-rapat tertutup yang diadakan sejak 2020 menjadi awal dari kesepakatan penyaluran dana CSR untuk kegiatan sosial. BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan per tahun, sementara OJK menyediakan 18–24 kegiatan CSR setiap tahunnya.
Namun, menurut KPK, alokasi dana ini justru menjadi celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab. HG dan ST diduga memanfaatkan yayasan yang mereka kelola—empat milik HG dan delapan milik ST—sebagai penampung dana. Proposal diajukan, dana dicairkan, lalu mengalir ke rekening pribadi atau rekening baru yang dibuka oleh staf kepercayaan mereka.
“Uang yang seharusnya untuk memperbaiki rumah rakyat, pendidikan, atau kesehatan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi,” ujar Asep.
Modus Operasi yang Rumit
Modus operasi yang digunakan oleh ST lebih rumit karena ia meminta salah satu bank menyamarkan transaksi deposito sehingga pencairan tidak terdeteksi di rekening koran. Dana ini kemudian dipakai untuk membeli tanah, membangun showroom, hingga kendaraan bermotor.
KPK belum berhenti pada dua nama ini. Penyidik tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan pejabat BI, OJK, dan anggota DPR lain. Sejumlah saksi sudah dipanggil, termasuk mantan pejabat BI, pejabat aktif OJK, dan anggota DPR dari berbagai fraksi. Bahkan, ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo sempat digeledah pada Desember 2024, meski hingga kini Perry belum dipanggil untuk dimintai keterangan.
Pengawasan yang Lemah dan Risiko Korupsi
Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dana CSR di lembaga negara. Dana yang diharapkan menjadi motor kegiatan sosial ternyata rawan diselewengkan lewat pertanggungjawaban fiktif. Contoh yang diungkap KPK: satu proposal pengajuan dana PSBI senilai Rp250 juta untuk membangun 50 rumah rakyat, namun di lapangan hanya terbangun 8–10 unit. Sisa anggaran miliaran rupiah menguap.
Pengamat tata kelola publik menilai skema penyaluran melalui yayasan tanpa verifikasi independen membuat program CSR rentan menjadi “ladang basah” bagi oknum. Tanpa transparansi dan kontrol publik, dana sosial bisa berubah menjadi dana pribadi. Hal ini menunjukkan pentingnya penguatan sistem pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan dana CSR.