Tidak Hanya Teori, Inovasi Pelajar Banten Tangani Krisis Lingkungan dengan Aksi Nyata

Featured Image

Inovasi di Sekolah Menengah Atas, Membentuk Generasi Berpikir Kritis

Inovasi kini tidak lagi menjadi domain eksklusif perguruan tinggi atau dunia industri. Di Provinsi Banten, ratusan siswa SMA, SMK, dan MA diberi kesempatan untuk keluar dari zona nyaman mereka. Mereka diajak meninggalkan teori-teori yang terdapat dalam buku-buku, dan langsung bergerak menciptakan inovasi yang nyata.

Program Green Innovation Camp 2025 menjadi wadah pembuktian bahwa ide-ide segar bisa muncul dari ruang kelas, asalkan diberikan ruang eksplorasi dan pendekatan pembelajaran yang tepat. Selama lima bulan, 444 siswa dari 61 sekolah mengikuti rangkaian kegiatan berbasis praktik. Tujuannya adalah merancang solusi lingkungan melalui pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).

Seluruh tahapan program ini dilakukan dengan prinsip learning by doing. Dari proses berpikir desain, konsultasi dengan mentor, hingga pengembangan prototipe, siswa diberi kesempatan untuk mempraktikkan ilmu yang telah dipelajari. Pendekatan ini jauh berbeda dari pembelajaran konvensional yang dominan pada teori.

Program ini mendorong siswa untuk mengasah keterampilan problem solving, kolaborasi, dan kemampuan menghasilkan solusi nyata terhadap masalah lingkungan sekitar mereka. Dari 77 proposal yang masuk, 10 tim terbaik akhirnya mempresentasikan inovasinya di babak final. Beberapa di antaranya bahkan berhasil mengubah limbah menjadi solusi bernilai guna.

Contohnya, tim Ecotex (SMAN 1 Tangerang) merancang furnitur premium dari limbah tekstil. Ini membuktikan bahwa upcycling bisa memiliki nilai ekonomi. Lalu ada tim Techcava (MAN IC Serpong) yang menciptakan alat pirolisis berbasis listrik yang mampu mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar diesel. Sementara itu, tim Smart Ecolyzer (SMAN 1 Tangsel) mengembangkan otomasi produksi eco-enzyme untuk mengolah limbah organik rumah tangga.

Ketua Dewan Eksekutif Prestasi Junior Indonesia, Pribadi Setiyanto, menegaskan pentingnya menanamkan inovasi sejak bangku sekolah. Ia menyatakan bahwa jika kita terus mengandalkan hafalan dan metode belajar pasif, maka potensi besar generasi muda akan terlewat. Inovasi lahir dari keberanian mencoba, berpikir kritis, dan kemampuan menerjemahkan ilmu menjadi solusi.

Peran guru juga sangat penting dalam program ini. Mereka bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi sebagai fasilitator yang mendorong siswa untuk keluar dari zona nyaman. Pendekatan ini sejalan dengan kurikulum nasional yang menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan kontekstual.

Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, Lukman, menekankan bahwa pendidikan seperti ini harus diperluas. Ia menyatakan bahwa siswa tidak bisa lagi disiapkan hanya untuk ujian. Mereka harus siap menghadapi tantangan dunia nyata, baik itu krisis iklim, perkembangan teknologi, maupun disrupsi pekerjaan.

Literasi lingkungan dan inovasi dalam pendidikan juga ditegaskan oleh laporan Future of Jobs Report 2025 dari World Economic Forum. Laporan tersebut menyebutkan bahwa pemahaman tentang keberlanjutan dan kesadaran lingkungan kini termasuk dalam 10 keterampilan paling dibutuhkan di dunia kerja. Hal ini membuktikan bahwa inovasi bukan sekadar tren, tetapi kebutuhan mendesak.

Melalui Green Innovation Camp 2025, para siswa tidak hanya belajar sains dan teknologi, tetapi juga mempraktikkannya untuk menciptakan perubahan. Inilah bentuk pendidikan masa depan: bukan sekadar mengajarkan, tapi menantang siswa untuk mencipta.

Intinya, krisis lingkungan, perubahan iklim, dan tantangan dunia kerja yang semakin kompleks menuntut pendidikan yang adaptif dan relevan. Inisiatif seperti Green Innovation Camp menjadi contoh konkret bagaimana pelajar bisa menjadi agen perubahan sejak dini, asalkan diberi ruang, tantangan, dan kepercayaan.