Trump Tidak Beri Tarif pada Logam Olahan, Harga Tembaga Naik

Featured Image

Harga Tembaga Naik Setelah Keputusan Trump dan Kecelakaan Tambang di Chili

Harga tembaga mengalami kenaikan setelah pelaku pasar mengevaluasi keputusan Presiden AS Donald Trump yang memutuskan untuk mengeluarkan logam olahan dari tarif impor 50%. Di sisi lain, kecelakaan fatal di tambang tembaga di Chili memicu kekhawatiran terhadap gangguan pasokan.

Menurut laporan Bloomberg pada Selasa (5/8/2025), harga tembaga di London Metal Exchange (LME) naik sebesar 0,6% dan ditutup pada level US$9.687 per ton pada pukul 17.53 waktu setempat. Sementara itu, logam dasar lainnya bergerak variatif, dengan zink naik 0,8%, sedangkan aluminium turun 0,5%.

Perdagangan tembaga mulai stabil di LME setelah keputusan tak terduga Gedung Putih pekan lalu yang memasukkan tembaga olahan ke dalam pengecualian dari tarif baru. Langkah ini sempat menyebabkan penurunan tajam harga tembaga di AS hingga 22% dalam satu hari pada Kamis lalu—penurunan harian terbesar dalam sejarah—dan membuat harga kembali sesuai dengan tolok ukur global LME.

Kini, fokus pasar beralih pada nasib volume besar tembaga yang telah dikirim ke AS menjelang pemberlakuan tarif. Selisih harga antara pasar London, New York, dan Shanghai akan menjadi penentu apakah logam tersebut akan segera diekspor kembali dari pelabuhan AS atau tetap bertahan.

Pada Senin (4/8/2025) waktu setempat, kontrak berjangka tembaga AS di Comex, CME Group, diperdagangkan sekitar 1,8% atau US$176 per ton di atas harga LME, sehingga mengurangi insentif ekspor jangka pendek.

“Dalam praktik sebelumnya, arus perdagangan tembaga antara CME dan LME terjadi ketika selisih harga berada di luar rentang US$100–US$200 per ton,” tulis analis Bank of America yang dipimpin Irina Shaorshadze dalam catatan riset.

Laporan tersebut melanjutkan, seiring normalisasi arus dagang, selisih harga LME–CME diperkirakan akan kembali ke pola historis yang cenderung konvergen.

Pelaku pasar juga mencermati potensi gangguan pasokan, setelah enam pekerja tewas akibat runtuhnya terowongan tambang El Teniente di Chili pekan lalu, yang dipicu gempa bumi lokal. Tambang bawah tanah ini menyumbang lebih dari seperempat produksi Codelco, produsen tembaga terbesar di dunia.

Kegiatan operasi bawah tanah di El Teniente saat ini dihentikan sementara, dan Codelco sedang melakukan investigasi. Belum jelas berapa lama penghentian ini akan berlangsung atau apakah akan berdampak pada target produksi perusahaan.

El Teniente merupakan salah satu tambang bawah tanah terbesar di dunia dengan produksi mencapai 356.000 ton tembaga tahun lalu, jumlah yang setara lebih dari satu bulan impor tembaga olahan China.

Gangguan di El Teniente terjadi di tengah ketatnya persaingan global untuk memperoleh pasokan bijih tembaga. Biaya pemurnian — sumber pendapatan utama bagi smelter — kini berada di level negatif dalam perdagangan spot.

Sejumlah fasilitas peleburan di Filipina dan Jepang bahkan memangkas produksi atau tutup total. Di China, meski produksi masih tinggi, muncul spekulasi bahwa kapasitasnya telah mendekati batas maksimum.

Investor juga mengawasi gangguan produksi lain yang tak terduga, termasuk di kompleks Kamoa-Kakula milik Ivanhoe Mines Ltd. di Republik Demokratik Kongo. Meski demikian, manajemen Ivanhoe pada Jumat lalu menyatakan optimisme bahwa produksi di tambang tersebut akan kembali ke target semula.