Uninus dan IDIP RI Kembangkan AI untuk Pendidikan Inklusif Siswa Marjinal

Featured Image

Peran Teknologi dalam Transformasi Pendidikan Inklusif

Universitas Islam Nusantara (Uninus) menekankan pentingnya perubahan kurikulum di era digital dan kecerdasan buatan (AI) untuk memastikan semua siswa, termasuk yang berada di luar lingkup utama, dapat mengakses pendidikan yang setara. Isu ini menjadi fokus utama dalam webinar internasional dan call for paper bertema Inclusion 5.0: Bridging Marginalized Learners with Advanced Learning Technologies, yang diselenggarakan di Kampus Uninus, Bandung, pada Sabtu 9 Agustus 2025.

Webinar yang dipimpin oleh Dr. Hilman Farouq Ghoer, M.M.Pd, menghadirkan pembicara ternama dari berbagai belahan dunia. Salah satu pembicara utama adalah Ian Kaplan, M.Sc., seorang peneliti senior dari International Afghanistankomiteen – Norwegian Afghanistan Committee, serta Shakila Binti Che Dahlan, Ph.D., akademisi dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Acara ini merupakan upaya untuk memperluas wawasan dan kolaborasi antar ilmuwan dalam bidang pendidikan.

Mendorong Penelitian dan Publikasi Ilmiah

Dr. Cece Hidayat, M.Si., Ketua Umum Ikatan Doktor Ilmu Pendidikan Republik Indonesia (IDIP RI), menyampaikan dukungan kuat kepada mahasiswa program doktoral untuk aktif melakukan riset dan menulis karya ilmiah. Ia menjelaskan bahwa IDIP RI saat ini sedang membangun Rumah Jurnal melalui Journal of Educational Management Research and Scientific Study (JEMARI), yang dapat diakses secara daring.

“Harapan kami, para mahasiswa S3 tidak hanya menjadi konsumen ilmu, tetapi juga produsen pengetahuan yang berkontribusi bagi kemajuan pendidikan Indonesia,” ujarnya. Webinar ini merupakan acara ketiga yang diselenggarakan oleh IDIP RI bersama Uninus, setelah sukses pada Juli 2024 dan Januari 2025. Tujuannya adalah memperluas jejaring ilmiah dan meningkatkan kualitas publikasi penelitian.

Tantangan dan Peluang di Era Society 5.0

Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Sumber Daya Uninus, Dr. Helmawati, M.Pd.I., menyoroti tantangan dan peluang di era Society 5.0, yang ditandai dengan perkembangan AI, realitas virtual (VR), dan big data. Menurutnya, teknologi dapat membantu menciptakan pembelajaran yang lebih personal dan efisien. Namun, ia mempertanyakan bagaimana memastikan bahwa kemajuan ini benar-benar menjangkau anak-anak di daerah terpencil, penyandang disabilitas, komunitas adat, dan mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Helmawati menegaskan bahwa Inclusion 5.0 bukan sekadar visi teknologi, tetapi juga misi sosial yang menggabungkan inovasi dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan pada kelompok rentan.

Pendekatan Holistik dalam Pembelajaran Digital

Shakila Binti Che Dahlan, Ph.D., menjelaskan bahwa integrasi AI, VR, dan digital learning harus dirancang untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan siswa. Ia menekankan bahwa era digital telah menghapus batas geografis, sehingga pembelajaran bisa diakses dari mana saja.

“Transformasi kurikulum perlu dirancang kontekstual, holistis, dan futuristis. Inovasi harus masuk ke desain pembelajaran agar lebih relevan dan interaktif, salah satunya melalui project-based learning,” kata Shakila.

Sementara itu, Ian Kaplan, M.Sc., mengingatkan bahwa inklusivitas justru menghadapi ancaman di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Ia menilai representasi inklusivitas dalam kurikulum akan memengaruhi praktik pembelajaran di lapangan. Ia juga menyoroti resistensi sebagian guru terhadap adopsi teknologi.

Menurutnya, pendekatan holistis dengan pendekatan horizontal dan vertikal dapat menjadi solusi. “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Pembelajaran holistis menyentuh semua aspek pendidikan sehingga sederhana dalam pelaksanaan, tetapi berdampak luas,” ujarnya.

Ian memaparkan empat dimensi penting untuk mendukung inklusi, keberagaman, dan keberlanjutan, yakni: lingkungan sekolah yang ramah dan kondusif, kepemimpinan inklusif serta pengembangan profesional, hubungan positif dan kolaboratif, serta pengajaran dan asesmen yang berkualitas dan inklusif.

Keempat dimensi ini, tambahnya, dapat menjadi indikator dalam mendeteksi masalah pendidikan, mulai dari akses siswa marjinal, dukungan keluarga dan sekolah, hingga kualitas pembelajaran yang benar-benar merata.

Melalui webinar dan call for paper ini, Uninus berharap penelitian di bidang pendidikan inklusif semakin berkembang dan mendorong terciptanya teknologi pembelajaran yang adil serta dapat diakses semua kalangan.