Amnesti, Kekalahan Lapas, dan Overkriminalisasi

Featured Image

Peran Amnesti dalam Keadilan Substansial

Dalam dunia hukum, terdapat situasi di mana negara harus melebihi teks hukum untuk mempertahankan semangat keadilan yang sebenarnya. Dalam logika hukum biasa, tindakan seperti ini bisa dianggap sebagai deviasi. Namun, dari perspektif etika publik, deviasi inilah yang menunjukkan keberanian negara untuk mengoreksi dirinya sendiri.

Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada 1.116 narapidana, sebagian besar dari mereka adalah korban dari kerangka hukum yang tidak jelas atau tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Contohnya, pengguna narkoba yang seharusnya direhabilitasi, warga binaan dengan gangguan kejiwaan, pelanggar pasar karet ITE, dan orang-orang yang dihukum karena membentangkan spanduk atau menulis satire politik. Ini bukan tentang membatalkan hukum, tetapi tentang membatalkan legalisme hukum yang tidak beriring rasa keadilan. Dengan demikian, amnesti tersebut bukanlah hadiah dari belas kasihan, atau manuver populis, melainkan rem darurat atas potensi disorientasi hukum.

Dalam pemikiran Giorgio Agamben, amnesti adalah bentuk keputusan eksepsional negara yang menanggalkan kelaziman hukum positif demi merespons krisis etis yang tak tertanggungkan oleh sistem hukum biasa.

Koreksi Etis dalam Sistem Pemidanaan

Dalam kerangka konstitusional, Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945 memberikan mandat kepada presiden untuk memberikan amnesti dengan pertimbangan DPR. Namun, esensi amnesti bukan pada legalitasnya, melainkan pada kritik etis yang ia bawa terhadap sistem pemidanaan yang gagal mengenali batas dirinya dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Di sinilah letak kedalaman kebijakan amnesti. Ia bukan instrumen pengampunan personal sebagaimana grasi, melainkan dekonstruksi atas superioritas negara menghukum. Dalam sejarah hukum modern, amnesti sering digunakan untuk mendamaikan konflik atau mengoreksi ekses hukum. Dalam sejarah republik ini, amnesti pernah diberikan kepada eks Tapol PRRI/Permesta (1959) dan Eks Kombatan Aceh (2005).

Jika hari ini kita memerlukan amnesti, itu karena sistem kita gagal menanamkan prinsip last resort dalam pemidanaan. Hari ini krisis muncul ketika overkriminalisasi menjadi norma dan pemidanaan penjara seolah menjadi satu-satunya bahasa keadilan.

Overcrowding dan Overkriminalisasi

Disorientasi penegakan hukum tercermin secara telanjang dalam kondisi lapas kita. Hari ini, sistem pemasyarakatan kita berada di bawah beban moral dan struktural yang nyaris tak tertanggungkan. Dengan kapasitas tampung hanya 146.260, lapas kita dihuni 281.743 narapidana. Rasio petugas jaga dengan warga binaan bahkan mencapai 1:80 di beberapa tempat, rasio yang tidak hanya tidak manusiawi, tetapi juga tidak proporsional.

Overcrowding bukanlah penyakit, ia hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya adalah overkriminalisasi, yaitu kecenderungan sistem hukum untuk menjadikan penjara sebagai jawaban tunggal terhadap semua bentuk deviasi sosial. Kita memenjarakan pengguna narkoba alih-alih merehabilitasi. Kita menjerat ekspresi alih-alih berdialog. Kita menyamakan antara pelaku kekerasan dan korban keadaan, lalu memasukkan mereka ke dalam ruang yang sama, semakin sesak, semakin tampak adil.

Data Ditjen PAS menunjukkan, lebih dari 53 persen penghuni lapas adalah pengguna atau pelaku kejahatan narkotika, yang sebagian merupakan non-violent drug offenders. Kita menjadikan pecandu sebagai musuh negara, lalu menjebloskan mereka ke lapas.

Reformasi Hukum dan Pemasyarakatan

Kita menghadapi dilema epistemik antara teks dan praksis, antara hukum yang menjanjikan reintegrasi dan masyarakat yang menuntut pembalasan. Maka, transformasi hukum akan selalu pincang. Ini adalah titik krusial di mana negara harus tidak hanya merevisi pasal-pasal, tetapi juga memulihkan kepercayaan sosial bahwa keadilan tidak selalu identik dengan penderitaan.

Bersyukur kita telah memiliki KUHP baru yang akan mulai diberlakukan pada Januari 2026. Ini menjadi momentum bersejarah bagi Indonesia untuk menutup lembaran panjang penggunaan KUHP warisan kolonial. Dalam konteks persoalan kriminalisasi berlebihan dan overcrowding yang selama ini membayangi sistem pemidanaan, KUHP baru menghadirkan harapan atas reformasi hukum pidana yang lebih manusiawi, kontekstual mengutamakan pendekatan restoratif, membuka ruang bagi pidana alternatif, seperti kerja sosial dan denda harian, serta menegaskan prinsip ultimum remedium untuk perkara ringan.

Reformasi Lapas tidak cukup dengan membangun bangunan baru. Ia harus dimulai dari rekonstruksi makna hukum. Kita harus kembali bertanya, mengapa seseorang dihukum? Apa yang diinginkan masyarakat dari penghukuman itu? Dan, bagaimana hukum bisa memulihkan, bukan sekadar menghukum?

Amnesti ini adalah sinyal bahwa negara ingin memperbaiki bukan hanya siapa yang dihukum, melainkan bagaimana kita memaknai penghukuman itu sendiri. Ini adalah panggilan untuk membangun sistem hukum yang tidak hanya kuat secara prosedural, tetapi juga adil secara moral dan manusiawi secara struktural.