Celoteh AB Asmarandana: Ketika Dosen Merasa Tak Pernah Salah, Nilai Kehilangan Maknanya

Featured Image

Ritual Nilai di Akhir Semester

Setiap akhir semester, kampus-kampus di seluruh Indonesia mengalami ritual tahunan yang hampir sakral: pemberian nilai. Dosen sibuk mengisi lembar penilaian, sedangkan mahasiswa gelisah menanti hasilnya. Di balik sistem informasi akademik, angka-angka itu bekerja diam-diam, menentukan siapa yang dianggap "berhasil" dan siapa yang harus mengulang langkah. Namun, pertanyaannya tetap muncul: untuk apa sebenarnya memberi nilai?

Ketakutan yang Bukan pada Angka

Banyak mahasiswa mengaku takut pada nilai. Tapi ketakutan itu bukan pada angka B atau C itu sendiri, melainkan pada konsekuensi yang mengikutinya. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang merosot bisa menggugurkan beasiswa, mengecewakan orang tua, atau mengubah cara pandang orang lain. Nilai berubah menjadi hantu administratif yang menghantui malam-malam mahasiswa. Ia bukan lagi cermin proses belajar, melainkan vonis final.

Seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu kampus negeri di Jawa Barat, Fira, mengungkapkan perasaannya: “Dapat nilai C rasanya kayak ditampar. Padahal saya merasa berkembang, saya aktif di kelas, saya belajar. Tapi kenapa rasanya kayak gagal total?” Cerita Fira bukan satu-satunya. Di banyak ruang kelas, nilai bukan lagi hasil reflektif dari proses pembelajaran, tapi seperti palu sidang. Sekali diketuk, tak bisa ditarik kembali.

Dosen, Nilai, dan Kuasa

Lalu bagaimana posisi dosen dalam ritual ini? Apakah pemberian nilai betul-betul bertujuan mengukur pemahaman mahasiswa? Memberi umpan balik? Atau sekadar memenuhi tabel Excel? Tak sedikit dosen yang, sadar atau tidak, menjadikan nilai sebagai alat kontrol. Ada yang memberikannya seperti hadiah untuk mahasiswa yang patuh, dan hukuman bagi mereka yang kritis. Ada pula yang memosisikan diri sebagai hakim yang tak bisa dibantah.

“Dosen bukan dewa,” kata pengajar muda yang kini mengajar di program pendidikan seni pertunjukan dengan nama Riri. “Kita juga bisa salah. Dan kalau nilai tidak lahir dari dialog, ia hanya jadi angka tanpa jiwa.” Riri bukan satu-satunya yang resah. Sejumlah pengajar muda mulai mempertanyakan ulang praktik penilaian yang kaku dan satu arah. Menurut mereka, nilai seharusnya menjadi jembatan antara pengajar dan pembelajar, bukan pagar pemisah.

Melampaui Huruf dan Angka

Wacana dekonstruksi sistem penilaian akademik sebenarnya bukan hal baru. Tapi realisasinya masih jauh panggang dari api. Dalam banyak kurikulum, penilaian masih berorientasi pada hasil akhir: nilai tugas, nilai ujian, nilai kehadiran. Padahal, dalam dunia nyata, keberanian bertanya, kemampuan bekerja sama, dan ketekunan menghadapi kegagalan justru lebih relevan untuk bertahan hidup.

“Mahasiswa yang aktif berdiskusi, mencoba, dan bahkan gagal di proyeknya, itu justru sedang belajar hal besar,” kata Didi, seorang dosen filsafat pendidikan. “Tapi sistem tak selalu bisa menangkap itu.” Pertanyaannya kini berbalik pada para dosen: Apakah nilai yang diberikan betul-betul mewakili perjalanan belajar mahasiswa? Apakah kita sudah cukup mendengar mereka, memahami konteksnya, dan menghargai proses mereka?

Mengajar, Bukan Sekadar Memberi Nilai

Mengajar bukan tentang mengisi kolom nilai. Mengajar adalah tentang memberi makna. Dan makna, kerap kali, tak bisa direduksi menjadi sekadar angka atau huruf. Barangkali ini saat yang tepat bagi dunia pendidikan untuk meninjau ulang paradigma evaluasi. Bahwa tidak semua pembelajaran bisa diukur, dan tidak semua keberhasilan bisa disederhanakan dalam A, B, atau E. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar menilai siapa yang pintar, tapi siapa yang terus mau belajar.