Detroit, Kota yang Dulu Bangkrut Kini Jadi Ibu Kota Mobil Listrik

Featured Image

Sejarah Kebangkrutan dan Pemulihan Kota Detroit

Detroit, yang pernah menjadi simbol kejayaan industri otomotif AS, kini menjadi contoh bagaimana sebuah kota bisa jatuh dan bangkit kembali. Namun, narasi tentang kejatuhan kota ini sering disederhanakan, padahal ada banyak faktor kompleks yang berperan dalam prosesnya.

Krisis minyak pada tahun 1970-an sering dianggap sebagai penyebab utama kejatuhan Detroit. Meskipun benar bahwa krisis ini mempercepat masalah, sebenarnya akar masalah lebih dalam. Industri otomotif AS, termasuk perusahaan besar seperti Ford, General Motors, dan Chrysler, mengalami stagnasi karena kurangnya inovasi dan ketergantungan pada pasar domestik. Selain itu, serikat pekerja juga sering dikritik karena tuntutan upah tinggi dan aturan kerja yang kaku, yang membuat biaya operasional meningkat.

Selain faktor ekonomi, masalah sosial juga turut memperparah kondisi kota. Kerusuhan rasial pada tahun 1967 menjadi titik balik penting. Peristiwa ini memicu fenomena "white flight", di mana banyak warga kulit putih pindah ke pinggiran kota, membawa kekuatan ekonomi mereka bersama. Akibatnya, basis pajak kota menyusut, populasi menurun drastis, dan tingkat pengangguran serta kriminalitas meningkat.

Pada Juli 2013, Detroit dinyatakan bangkrut dengan utang mencapai US$18 miliar, menjadikannya kebangkrutan kota terbesar di AS. Namun, kebangkrutan ini juga menjadi titik awal perubahan. Pemerintah federal segera turun tangan dengan memberikan bantuan dana, salah satunya adalah Hardest Hit Fund (HHF), yang digunakan untuk menstabilkan harga rumah dan membiayai pembongkaran rumah kumuh.

Meski sempat terjadi kontroversi terkait penyimpangan anggaran, program HHF berhasil membantu pemulihan kota. Dana pensiun diselamatkan, koleksi seni kota terjaga, dan bangunan terbengkalai dihancurkan secara agresif untuk menghidupkan kembali lingkungan. Proyek sarana publik seperti jalur trem QLine juga diluncurkan, menarik investasi dari warga.

Investasi besar mulai berdatangan, terutama dari perusahaan otomotif. Ford berinvestasi US$900 juta untuk mengubah Stasiun Pusat Michigan menjadi pusat inovasi. General Motors juga ikut berpartisipasi dengan berinvestasi US$2,2 miliar untuk pabrik baru yang merakit kendaraan listrik canggih. Startup teknologi seperti Wheel.me dan LIVAQ juga mulai berkembang, didukung oleh insentif pemerintah.

Investor asing pun melirik Detroit, seperti perusahaan pengisian daya EcoG dari Jerman yang membuka kantor di kota ini. Kebangkitan Detroit adalah hasil dari kerja keras, investasi strategis, serta kemitraan antara pemerintah dan swasta. Kota ini kembali menjadi pusat otomotif, meski fokus utamanya masih pada industri tersebut.

Namun, pertanyaan penting tetap muncul: apakah ini diversifikasi ekonomi sejati? Fokus pada otomotif, meski sudah beralih ke kendaraan listrik dan teknologi mobilitas, belum sepenuhnya mencerminkan diversifikasi yang sebenarnya. Untuk ekonomi yang stabil, diperlukan partisipasi berbagai sektor seperti kesehatan, pendidikan, dan pariwisata.

Program seperti Detroit at Work dan TechTown Detroit bertujuan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang siap bekerja di berbagai bidang. Dengan adanya lebih banyak startup lokal, harapan terciptanya lapangan kerja yang lebih luas dan ekosistem ekonomi yang lebih berkelanjutan semakin besar.

Detroit memang telah bangkit kembali, namun tantangan masih ada. Stagnasi layanan publik pasca-bangkrut dan transparansi audit program demolisi menjadi isu penting yang perlu ditangani. Apakah kota ini akan mampu membangun ekonomi yang lebih beragam, bukan sekadar bergeser fokus saja, menjadi pertanyaan besar yang masih harus dijawab.