Hutan, COP30, dan Keadilan Iklim di Pulau Kecil

Featured Image

Peran Hutan Pulau Kecil dalam Agenda Keadilan Iklim

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki ribuan pulau kecil yang masing-masing memiliki ekosistem unik. Luas hutan alam di pulau-pulau ini mencapai 3,49 juta hektar, yang merupakan sekitar setengah dari total luas seluruh pulau kecil di Indonesia, yaitu tujuh juta hektar. Di atasnya, hidup berbagai keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Selain itu, hutan di pulau-pulau kecil juga menjadi rumah bagi berbagai suku dengan kebudayaannya yang telah lama berkembang di Nusantara.

Menjelang perhelatan COP30 di Belem, Brasil, nasib hutan di pulau-pulau kecil menjadi fokus penting karena beberapa pertimbangan krusial. Pertama, penyelenggaraan COP30 pada 10-21 November 2025 adalah momentum penting untuk membahas tata kelola hutan global. Sebagai tuan rumah, Brasil menegaskan bahwa tujuan utama COP30 adalah mempercepat perlindungan hutan Amazon dan mendukung akselerasi Paris Agreement. Momentum ini akan menjadi pembahasan mengenai agenda keadilan iklim, di mana isu hutan akan menjadi inti utamanya.

Dalam rangka mendukung agenda tersebut, berbagai skema pendanaan telah disiapkan, salah satunya adalah Tropical Forest Forever Fund (TFFF). Skema ini bertujuan untuk mendukung perlindungan hutan secara global.

Kedua, perlindungan hutan di pulau-pulau kecil sering kali diabaikan dalam tata kelola hutan di Indonesia. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditetapkan bahwa setiap daerah aliran sungai atau pulau harus memiliki kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daratan. Namun, batas ini tidak sesuai dengan kondisi pulau-pulau kecil yang memiliki daya dukung ekologis terbatas. Oleh karena itu, batas minimal bagi pulau-pulau kecil harus disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampungnya.

Sayangnya, UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja menghapus batasan minimal 30 persen tersebut. Saat ini, sedang dilakukan revisi UU Kehutanan yang telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2025. Dalam revisi ini, tidak ada ruang untuk evaluasi atau koreksi terhadap absennya agenda perlindungan hutan di pulau-pulau kecil.

Ketiga, hutan di pulau-pulau kecil terus menghadapi ancaman dari industri ekstraktif, terutama pertambangan dan hilirisasi nikel. Berdasarkan data Auriga Nusantara (2025), saat ini terdapat setidaknya 289 pulau kecil di Indonesia dengan total luas 1,9 juta hektar yang berada dalam ancaman tambang. Sekitar 380 IUP (Izin Usaha Pertambangan) membebani pulau-pulau tersebut. Contoh terkini adalah pertambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, yang berada di wilayah hutan lindung.

Seiring menjelang COP30 di Brasil, Pemerintah dan DPR RI perlu merumuskan kembali agenda tata kelola hutan di pulau-pulau kecil yang sejalan dengan prinsip keadilan iklim. Hal ini termasuk memastikan perlindungan hutan di pulau-pulau kecil serta masyarakat yang tinggal di dalamnya. Agenda ini harus menjadi komitmen serius pemerintah guna mencegah kepunahan budaya dan keanekaragaman hayati akibat perubahan iklim dan dampak terkaitnya.

Selain itu, berbagai skema pendanaan yang akan ditawarkan pada COP30 untuk melindungi hutan harus diletakkan dalam kerangka utang ekologis. Masyarakat harus menerima kompensasi penuh, serta restorasi atas hilangnya lahan, mata pencaharian, dan kerusakan lainnya. Skema pendanaan tersebut juga harus tunduk pada prinsip-prinsip akuntabilitas demokratis, keberlanjutan ekologis, dan keadilan sosial.