Kafe Hening Tanpa Musik: Rasa Takut pada Royalti Membuat Suasana Sepi

Kafe dan Restoran Was-Was Akibat Kebijakan Royalti Musik
Kebijakan pemerintah yang menetapkan kewajiban pembayaran royalti bagi pelaku usaha yang memutar musik di tempat komersial seperti kafe dan restoran membuat banyak pengusaha merasa was-was. Hal ini terlihat dari beberapa tempat usaha yang memilih untuk tidak menyetel musik sama sekali, takut menghadapi konsekuensi hukum.
Salah satu contohnya adalah sebuah restoran mi di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. Karyawan restoran tersebut, Gusti (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa sejak kebijakan diberlakukan, mereka tidak lagi memutar musik. "Udah enggak pernah nyetel (musik) lagi, dari awal udah enggak boleh," ujarnya saat diwawancarai di lokasi.
Gusti mengungkapkan bahwa ketiadaan musik membuat suasana restoran menjadi sepi dan hampa. Hanya suara dapur yang terdengar, karena para pekerja tidak lagi mendengar musik yang biasanya membantu meningkatkan suasana hati. Ia juga menyebutkan bahwa musik bisa membuat pelanggan lebih nyaman dan senang.
Musik Tak Lagi Menarik Pelanggan
Selain itu, Gusti berpikir bahwa tanpa musik, minat pelanggan mungkin akan berkurang. "Masalah royalti itu kan memang ada cuma tergantung yang nyiptain lagu, kalau misalkan kafe atau resto enggak ada lagu itu jadi kurang memikat pelanggan," katanya.
Dulu, restoran tempatnya bekerja selalu memutar lagu-lagu hits masa kini yang disukai oleh anak muda. Bahkan, beberapa pelanggan ikut bernyanyi tipis-tipis sambil menunggu pesanan. Kini, kondisi tersebut sudah berubah.
Pemutaran Lagu Barat sebagai Solusi
Di sisi lain, salah satu kafe di Jalan Tebet Barat, Jakarta Selatan, tetap memutar musik, meski bukan lagu Indonesia. Karyawan kafe tersebut, Ririn (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa kafe lebih memilih lagu-lagu barat agar tidak terkena masalah royalti.
"Jadi, udah mengikuti aturan di sini, cuma gantinya pakai lagu-lagu barat," ujar Ririn. Menurutnya, larangan memutar lagu Indonesia datang langsung dari pihak manajemen agar tidak mengambil risiko.
Selain lagu barat, kafe tersebut juga sering memutar musik instrumen. Meski suasana menjadi lebih tenang, pengunjung terlihat lebih sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa bahkan mengaku merasa mengantuk karena musik instrumental.
Pengunjung Minta Pemerintah Pertimbangkan Ulang
Pengunjung kafe, Jeni (29), menyampaikan keluhan terkait kebijakan ini. Ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut. "Ya, sebagai pemerintah kalau mau buat kebijakan dipertimbangkan lah. Masa putar lagu di kafe aja harus bayar," katanya.
Jeni juga menilai bahwa pemutaran musik di kafe bisa memberikan dampak positif, karena lagu-lagu yang diputar bisa semakin dikenal oleh masyarakat. Ia menyarankan agar pemerintah lebih selektif dalam menentukan penyanyi mana yang tidak ingin lagunya diputar.
Kritik terhadap Sistem Royalti
Aulia (25), pengunjung lainnya, juga menyampaikan harapan agar pemerintah menyeleksi penyanyi mana yang keberatan lagunya disetel di kafe. Ia berpendapat bahwa jika pemerintah mengetahui siapa saja yang tidak setuju, maka kafe bisa secara otomatis menghindari lagu-lagu tersebut.
Ia juga menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan yang lebih jelas, seperti memastikan bahwa kafe hanya memutar lagu dari aplikasi resmi atau berlisensi.
Penjelasan DJKI tentang Kewajiban Royalti
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menjelaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menegaskan bahwa aturan ini berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya. Langganan pribadi tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.
"Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," kata Agung.
Royalti tersebut harus dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait.