Kisah Berbeda Pizza Hut dan KFC Saat Gerai Menurun di Semester I/2025

Featured Image

Perbedaan Kinerja Pizza Hut dan KFC di Semester Pertama 2025

Di tengah situasi pasar yang dinamis, dua perusahaan besar pengelola restoran cepat saji, yaitu PT Sarimelati Kencana Tbk (PZZA) atau Pizza Hut dan PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST) atau KFC, menunjukkan perbedaan kinerja dalam hal jumlah gerai serta keuntungan. Meski sama-sama mengalami penurunan jumlah gerai selama semester pertama tahun 2025, keduanya memiliki tren pendapatan dan laba yang berbeda.

Penurunan Jumlah Gerai

Berdasarkan laporan keuangan hingga 30 Juni 2025 dan 31 Desember 2024, PZZA mengoperasikan 586 gerai Pizza Hut di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Angka ini lebih rendah dibandingkan 591 gerai pada akhir 2024, sehingga terjadi penurunan sebanyak lima gerai. Sementara itu, FAST mencatatkan pengoperasian 698 gerai hingga 30 Juni 2025, turun dari 715 gerai pada akhir 2024. Hal ini menunjukkan penurunan sebanyak 17 gerai untuk KFC.

Kinerja Keuangan yang Berbeda

Meskipun jumlah gerai menurun, PZZA berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp15,56 miliar pada semester I/2025, berbanding terbalik dengan kerugian sebesar Rp75,11 miliar pada semester I/2024. Peningkatan ini didorong oleh kenaikan penjualan bersih sebesar 12,41% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp1,54 triliun. Penjualan berasal dari segmen makanan sebesar Rp1,45 triliun dan minuman sebesar Rp88,81 miliar.

Corporate Secretary Sarimelati Kencana, Andromeda Hermawan Tristanto, menjelaskan bahwa perbaikan kinerja disebabkan oleh inisiatif "spend smarter" yang telah dilakukan sejak 2023. Inisiatif ini membantu mengubah kondisi rugi operasional menjadi laba operasional. Perseroan juga optimis momentum perbaikan akan berlanjut di semester II/2025 melalui inovasi digital dan kolaborasi strategis.

Kinerja Keuangan KFC yang Masih Rugi

Sementara itu, FAST masih mengalami kerugian bersih sebesar Rp138,75 miliar pada semester I/2025, meskipun angka ini lebih rendah dibandingkan kerugian sebesar Rp348,83 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan FAST juga mengalami penurunan sebesar 3,12% yoy menjadi Rp2,4 triliun, turun dari Rp2,48 triliun pada semester I/2024.

Pendapatan FAST berasal dari pihak ketiga makanan dan minuman sebesar Rp2,39 triliun, komisi atas penjualan konsinyasi sebesar Rp9,37 miliar, serta jasa layanan antar sebesar Rp855,98 juta.

Dampak Boikot Produk Pro-Israel

Kedua perusahaan tersebut terkena dampak dari isu boikot produk pro-Israel, yang dipengaruhi oleh gejolak geopolitik di wilayah Palestina dan Israel. Direktur FAST, Wahyudi Martono, menyatakan bahwa meskipun KFC bukan bagian dari produk yang diboikot, namun karena KFC berasal dari Amerika Serikat, perusahaan tetap terdampak cukup signifikan.

Untuk menghadapi tantangan ini, FAST berupaya memperkuat strategi pemasaran, meningkatkan efektivitas promosi, dan memanfaatkan data pelanggan untuk penyusunan penawaran yang lebih personal. Selain itu, perseroan juga aktif memperluas jangkauan pasar melalui kolaborasi strategis dengan platform digital, layanan pengantaran, maupun mitra bisnis lainnya.

Strategi yang Dilakukan untuk Meningkatkan Performa

Wahyudi menjelaskan bahwa FAST fokus pada optimalisasi penjualan melalui strategi harga yang kompetitif dan peningkatan efektivitas pemasaran. Selain itu, perusahaan juga meningkatkan kehadiran di kanal digital dengan memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan engagement dengan pelanggan. Dengan demikian, FAST berharap dapat kembali pulih dan meningkatkan kinerja di masa mendatang.