Kontribusi Manufaktur pada PDB Saat Industri Tidak Berkembang

Featured Image

Pertumbuhan Industri Pengolahan yang Tidak Menyentuh Kondisi Lapangan

Laju kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meskipun pertumbuhannya masih cenderung stagnan. Hal ini tampaknya bertentangan dengan kondisi usaha industri yang masih mengalami kesulitan.

Laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan tetap menjadi penggerak utama ekonomi pada kuartal II/2025. Kontribusinya terhadap PDB mencapai 18,67% secara year-on-year (yoy). Jika dilihat secara tahunan, capaian kuartal kedua tahun ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu 18,52% yoy pada kuartal II/2024 dan 18,25% pada kuartal II/2023. Angka tersebut terus meningkat sejak turun ke level 17,84% yoy pada 2022.

Sayangnya, kontribusi manufaktur dalam periode terbaru masih cenderung stagnan, bahkan tidak mampu mencapai angka yang dicapai sekitar sepuluh tahun lalu atau pada tahun 2015 yang mampu mencapai 20,91% yoy.

Sementara itu, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada kuartal II/2025, sektor ini tumbuh sebesar 5,60% yoy, lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang hanya 4,31% yoy. Capaian pertumbuhan ini juga lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 4,63% yoy dan 4,67% pada kuartal II/2023. Angkanya hampir sama dengan kinerja tahun kuartal II/2022 yakni 5,47% yoy. Meskipun demikian, pertumbuhan ini masih stagnan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2015 sebesar 5,22% yoy.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pertumbuhan industri masih kuat di atas pertumbuhan ekonomi nasional kuartal ini sebesar 5,12% yoy. Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan industri pengolahan didukung oleh sektor logam dasar yang tumbuh sebesar 14,91% yoy, serta sektor makanan dan minuman yang tumbuh sebesar 6,15% yoy. Sementara itu, sektor kimia farmasi obat-obatan juga relatif tumbuh.

Namun, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyampaikan bahwa pulihnya industri pengolahan belum mencerminkan seluruh kondisi di lapangan yang saat ini masih mengalami kontraksi. Hal ini terlihat dari data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang masih berada di fase kontraksi yakni 46,9 pada Juni 2025. Laju indeks ini telah menurun selama empat bulan berturut-turut sejak April 46,7.

Selain itu, data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) juga menunjukkan penurunan selama tiga bulan terakhir. Pada Maret 2025, IKI berada pada level 52,98. Namun, turun drastis pada April (51,9), Mei (52,11), dan Juni (51,84). Shinta menyebutkan bahwa permintaan baru, baik dari sisi domestik maupun ekspor, dilaporkan mengalami pelemahan sekaligus menunjukkan aktivitas pasar yang melambat.

Tantangan dan Langkah Perbaikan untuk Sektor Manufaktur

Shinta menyebutkan bahwa banyak pengusaha melaporkan penundaan pesanan baru dari pasar. Kondisi ini mencerminkan turunnya kepercayaan masyarakat dan daya beli di pasar domestik yang belum pulih. Di samping itu, pasar ekspor juga belum bisa diandalkan karena gejolak perdagangan global yang terjadi. Akibatnya, banyak perusahaan menahan ekspansi, mengurangi output, dan bahkan melakukan penyesuaian tenaga kerja.

Untuk mengungkit kontribusi manufaktur terhadap nilai ekonomi nasional, Shinta menyebut dua langkah utama. Pertama, pemerintah perlu memberikan instrumen jangka pendek seperti stimulus untuk industri. Menurut dia, insentif dan perlindungan tidak cukup hanya bersifat normatif, maka perlu langkah afirmatif yang dapat langsung menyasar titik tekan pelaku industri, mulai dari biaya produksi, akses bahan baku, hingga kepastian regulasi.

Kedua, penyelesaian yang sifatnya jangka menengah panjang, yaitu mengeliminasi berbagai bottleneck yang masih menciptakan high cost economy. Kombinasi dari kedua hal ini sangat penting untuk mengembalikan daya saing sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Kondisi Industri yang Mengkhawatirkan

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ariyo DP Irhamna memperkirakan bahwa produktivitas manufaktur akan mulai berangsur pulih pada kuartal I atau kuartal II/2026. Namun, hal ini bergantung pada respons pemerintah terkait hasil akhir tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) dengan semua negara. Kebijakan tarif yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump disebut akan sangat berpengaruh pada kinerja manufaktur ke depannya.

Apalagi, tarif yang diterapkan terhadap Indonesia sebesar 19% sama dengan tarif untuk negara-negara Asean lainnya. Artinya, daya saing untuk masuk ke pasar AS kembali sama dan diproyeksikan makin ketat. Untuk memberikan optimisme, pemerintah perlu renegosiasi, dan perbaikan permintaan global. Jika regulasi ekspor dan impor disederhanakan serta dukungan pembiayaan produksi diperkuat, efek positif dari tarif 19% ke AS bisa mulai dirasakan lebih cepat.

Namun, tanpa langkah percepatan, industri disebut dapat terjebak dalam fase stagnasi lebih lama karena kehilangan momentum pasca-negosiasi dagang.

Masalah PHK dan Penutupan Pabrik

Meski secara makro pertumbuhan ekonomi melaju, di lapangan polemik sektoral masih menjadi soal, baik berkenaan regulasi maupun gangguan eksternal. Hal ini memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga kaburnya investor.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) membuka-bukaan soal kondisi industri tekstil yang makin tertekan lantaran maraknya produk impor ilegal dari China. Hal ini memicu banyak pabrik yang tutup hingga investor memilih pergi dari Indonesia. Keresahan produsen tekstil ini diungkapkan lewat audiensi dengan Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BK Kemendag).

Terlebih, baru-baru ini Kemendag menolak penerapan bea masuk anti-dumping (BMAD) atas produk polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY). Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil mengatakan, pelaku industri makin resah dengan kondisi lapangan yang kian memburuk. Kendati demikian, pihaknya terus memperjuangkan keberlanjutan pabrik. Pasalnya, menurut Farhan, hal ini bukan hanya perkara bisnis, tetapi hajat hidup banyak pekerja.

Sebelumnya direncanakan terdapat tiga anggota APSyFI yang akan mereaktivasi kapasitas produksi tahun ini dan rencana penanaman modal asing (PMA) dengan nilai investasi US$250 juta atau setara Rp4 triliun. Ada investor asing yang sudah datang langsung ke lokasi, melihat potensi mesin-mesin produksi yang bisa dihidupkan kembali. Bahkan sudah ada kunjungan CEO dari perusahaan tekstil multinasional, mereka antusias, tapi begitu tahu BMAD ditolak, semuanya batal.

Badai PHK dan penutupan pabrik pun kian marak terjadi pada periode paruh tahun ini. Terbaru, PT Asia Pacific Fibers Tbk. (POLY) mengumumkan penutupan permanen pabrik kimia dan serat di Karawang. Penutupan pabrik tersebut disebut akibat persaingan pasar domestik dengan produk impor murah serta bea masuk antidumping yang diterapkan AS.

Secara keseluruhan, jika merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), angka PHK pada periode Januari-Juni 2025 mencapai 42.385 orang. Jumlah itu meningkat 32,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 32.064 orang. Di sisi lain, laporan terkini dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut setidaknya 70.000 buruh terkena PHK massal akibat penutupan pabrik, efisiensi karyawan, hingga relokasi pabrik ke wilayah atau negara lain.

Beberapa informasi perusahaan besar yang tutup misalnya, Sritex Group dengan total karyawan ter-PHK sebanyak 11.025 buruh, PT Yamaha Music Piano 1.110 buruh PHK, hingga PT Sanken Indonesia 900 buruh PHK.