Menanti Solusi Polemik Royalti Musik yang Mengganggu Pelaku Usaha

Permasalahan Royalti Lagu dan Musik yang Mengemuka
Pemerintah sedang mencari solusi terbaik untuk mengatasi polemik pembayaran royalti lagu dan musik yang kini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk para pelaku usaha. Masalah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan kafe dan restoran yang kini lebih hati-hati dalam memutar lagu karena takut terkena masalah royalti. Beberapa tempat usaha bahkan memilih tidak memutar musik sama sekali agar tidak terlibat dalam konflik tersebut.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan bahwa pihak Istana Kepresidenan akan mengajak pemangku kebijakan terkait duduk bersama untuk mencari jalan keluar. Ia berharap segera ada solusi yang dapat mengatasi masalah ini, khususnya bagi kafe atau rumah makan yang harus membayar royalti jika memutar lagu.
Menurut Prasetyo, permasalahan ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, hak pencipta lagu harus dihargai, namun di sisi lain, ada anggapan bahwa pemutaran lagu di ruang publik tidak perlu dibayar. Ia menekankan bahwa pihaknya terus mendiskusikan solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini.
Peran Kementerian dan Lembaga Terkait
Menteri Kebudayaan Fadli Zon juga menyatakan bahwa persoalan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kebudayaan, tetapi juga perlu melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, terutama terkait perlindungan hak cipta dan kekayaan intelektual (HAKI). Menurutnya, penting untuk duduk bersama lintas kementerian dan lembaga yang terkait dengan hak cipta dan HAKI.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad juga meminta Kementerian Hukum agar tidak membuat aturan yang menyulitkan. Ia menegaskan bahwa ketentuan ini bisa diterapkan sambil menunggu Revisi Undang-Undang (RUU) Hak Cipta yang masih bergulir di DPR RI.
Penjelasan Mengenai Royalti Musik
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa royalti musik yang dikumpulkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) akan masuk ke pencipta, penyanyi, dan pemilik lagu atas karyasnya. Ia menegaskan bahwa royalti bukan merupakan pajak atau cukai negara. Seratus persen dari royalti yang terkumpul akan diberikan kepada pemilik hak cipta, bukan negara atau institusi pemerintah.
Meskipun LMKN dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM sebagai amanat UU Hak Cipta, organisasi ini merupakan lembaga non pemerintah yang diisi oleh komunitas pencipta, penyanyi, dan musisi. Oleh karena itu, pihak yang memungut, mengatur, serta menyalurkan royalti berasal dari komunitas tersebut.
Supratman juga menyatakan bahwa jika ada oknum dari Kemenkum yang ikut campur dalam urusan royalti musik, maka akan langsung diberhentikan. Ia berharap seluruh pihak dapat taat membayar royalti, termasuk pengusaha yang memutar karya musik untuk kepentingan komersial.
Keluhan Pelaku Usaha dan Konsumen
Sejak masalah royalti mengemuka, sejumlah pelaku usaha mengaku belum begitu paham dengan masalah tersebut dan merasa kewajiban membayar royalti sebagai beban. Nur, pemilik usaha di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, menyebutkan bahwa penggunaan musik di tempat usahanya lebih bersifat hiburan ringan dan tidak bersifat komersial secara langsung. Ia menilai, penerapan kewajiban membayar royalti sebaiknya mempertimbangkan skala usaha dan tingkat ramainya kunjungan pelanggan.
Keluhan serupa turut disuarakan warga yang menjadi konsumen kafe. Suzie, seorang warga yang kerap bekerja dari kafe, mengaku tidak tertarik berkunjung ke kafe yang tidak memutar musik karena aturan royalti. Ia melihat fenomena ini sebagai hal yang bisa berdampak luas, bukan hanya bagi pelaku usaha kuliner, tapi juga musisi dan masyarakat umum.
Suzie berharap pemerintah dapat menyusun kebijakan royalti yang adil, terutama untuk pelaku usaha kecil dan UMKM. Ia juga menyatakan bahwa aturan yang terlalu ketat bisa membuat orang enggan mendengarkan musik legal.