Mengerikan! 39% Gen Z Indonesia Jadi Korban Penipuan Online Tahun Ini

Featured Image

Kesadaran akan Ancaman Siber Tidak Selalu Diikuti dengan Tindakan Nyata

Banyak orang merasa khawatir tentang keamanan data pribadi, namun masih saja menggunakan password yang sama untuk semua akun. Hal ini bukanlah hal yang langka. Dalam laporan Oh, Behave! The Annual Cybersecurity Attitudes and Behaviors Report 2024–2025, sekitar 39 persen Gen Z pernah tertipu oleh tautan atau pesan mencurigakan, menjadikan mereka kelompok yang paling rentan terhadap penipuan digital. Apakah kamu termasuk di antara mereka?

Ancaman siber bisa datang dari celah kecil pun. Namun, tidak semua orang sadar akan pentingnya mengambil tindakan nyata. Meskipun sudah mengetahui risiko, banyak orang tetap mempertahankan kebiasaan digital yang kurang aman. Misalnya, masih menggunakan password yang lemah atau belum mengaktifkan autentikasi dua langkah.

Perbedaan Antara Rasa Takut dan Tindakan Nyata

Banyak orang telah menyadari adanya ancaman siber. Setelah mendengar berita tentang kebocoran data atau akun yang diretas, kesadaran akan keamanan digital meningkat. Sayangnya, tidak semua orang langsung mengubah kebiasaan digital mereka. Data dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa ada jarak antara pengetahuan dan tindakan. Meski tahu betapa pentingnya keamanan digital, banyak orang tetap menggunakan password yang mudah ditebak.

Ini menjadi pengingat bahwa kesadaran saja tidak cukup. Kita harus mengambil tindakan nyata untuk melindungi diri dari ancaman siber. Maka dari itu, penting untuk mulai mengubah kebiasaan digital kita agar lebih aman.

Ancaman Siber Berbasis AI yang Semakin Mengkhawatirkan

Teknologi AI kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari membantu menyelesaikan pekerjaan hingga membuat konten dalam hitungan menit. Namun, di balik kemudahan itu, ada sisi gelap yang tidak boleh diabaikan. Pelaku kejahatan siber mulai memanfaatkan AI untuk melakukan penipuan yang semakin rumit dan sulit dideteksi.

Dulu, mungkin kita hanya waspada terhadap SMS mencurigakan. Sekarang, penipu bisa melakukan panggilan telepon dengan nomor lokal, pura-pura sebagai instansi resmi, bahkan menggunakan suara hasil AI yang mirip dengan suara manusia. Akibatnya, banyak orang mudah terkecoh karena suaranya terdengar sangat meyakinkan.

Karena itu, ancaman siber berbasis AI membuat banyak orang semakin waspada. Serangan digital kini hampir tidak bisa dibedakan dari komunikasi asli. Oleh karena itu, generasi digital seperti kita perlu lebih peka, lebih kritis, dan tidak mudah terkecoh oleh penampilan luar yang terkesan "resmi".

Pelatihan Keamanan Digital yang Lebih Menarik

Bagi yang merasa pelatihan keamanan siber terlalu teknis dan membosankan, mungkin perlu mencoba pendekatan yang lebih menarik. Edukasi soal keamanan siber bisa disampaikan dengan cara yang lebih fun dan relevan, terutama jika dikemas dalam format seperti video pendek, kuis interaktif, atau konten berbasis skenario sehari-hari.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa cara penyampaian yang relatable justru membuat orang lebih mudah memahami dan mengingat materinya. Jadi, bukan hanya tentang apa yang diajarkan, tapi juga bagaimana cara mengajarkannya. Jika pendekatannya lebih manusiawi, orang akan lebih tertarik untuk belajar.

Kebiasaan Digital Kecil yang Berdampak Besar

Beberapa kebiasaan digital yang tampaknya kecil, seperti mengupdate sistem atau membuat password yang kuat, sering dianggap remeh. Padahal, kebiasaan-kebiasaan ini justru menjadi garis pertahanan pertama dari berbagai serangan siber.

Beberapa langkah kecil yang terbukti efektif adalah: mengaktifkan MFA (Multi-Factor Authentication), tidak mengklik link sembarangan, rutin melakukan backup data, dan yang paling penting, tidak mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal atau bukan berasal dari call center resmi. Meskipun terdengar sederhana, langkah-langkah ini sangat penting untuk menjaga keamanan digital sehari-hari.

Setelah membaca insight dari laporan ini, diharapkan Gen Z bisa lebih sadar akan pentingnya menjaga keamanan digital. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk lingkungan sekitar. Mari mulai dari langkah kecil yang bisa dilakukan hari ini. Karena di era online saat ini, kebiasaan digital yang sehat bukan hanya penting, tetapi sudah menjadi kebutuhan.