Misteri 3 Penerbit yang Diduga Direkomendasikan Disdikbud Indramayu: Sekolah Bingung, RKAS Berubah

Featured Image

Polemik Pembelian Buku di Sekolah SD dan SMP Kabupaten Indramayu

Pembelian buku di sekolah-sekolah tingkat SD dan SMP di Kabupaten Indramayu kini tengah menjadi sorotan. Isu intervensi dalam proses pembelian buku mulai muncul, terutama setelah dugaan adanya arahan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) agar sekolah membeli buku dari tiga penerbit tertentu. Ketiga penerbit tersebut adalah Andi Offset, Pustaka Mulia, dan Bumi Aksara.

Sebelumnya, kebijakan resmi Disdikbud melalui aplikasi m-Arkas memberi kebebasan kepada sekolah untuk memilih penyedia buku yang telah terdaftar dan lolos verifikasi. Namun, dalam pelaksanaannya, banyak sekolah justru diarahkan untuk hanya membeli buku dari tiga penerbit tersebut, meskipun belum semua dari mereka masuk ke dalam sistem m-Arkas tingkat kabupaten.

Kepala sekolah SD di wilayah timur Indramayu mengungkapkan bahwa sekarang mereka diminta untuk membelanjakan 10% dari Dana BOS hanya kepada tiga penerbit itu. Jika tidak, mereka khawatir akan menghadapi kesulitan administratif. Ia menyatakan bahwa RKAS sudah disusun berdasarkan kebutuhan dan daftar penyedia yang tersedia di sistem. Namun, kini harus diubah lagi demi memenuhi kebijakan yang disebut sebagai "perintah pimpinan".

Banyak kepala sekolah merasa bingung dengan situasi ini. Di satu sisi, mereka ingin mematuhi aturan, tetapi di sisi lain, mereka takut menghadapi hambatan jika tidak mengikuti arahan tersebut. Mereka juga menilai bahwa tidak semua sekolah membutuhkan buku dari tiga penerbit tersebut. Namun, karena takut dianggap melawan kebijakan dinas, mereka terpaksa patuh.

Masalah ini memicu pertanyaan besar tentang alasan Disdikbud hanya merekomendasikan tiga penerbit tersebut. Apakah ada kerja sama khusus? Apakah ketiganya memenuhi kriteria penyedia yang sah dan terdaftar dalam m-Arkas?

Para pengamat pendidikan dan pegiat transparansi anggaran daerah meminta agar kebijakan ini segera dikaji ulang, karena dinilai melanggar prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas penggunaan dana BOS. Mereka menegaskan bahwa jika terbukti ada intervensi yang merugikan sekolah dan menguntungkan pihak tertentu, maka harus segera diusut oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, para penyedia buku lain yang tidak termasuk dalam daftar tiga penerbit tersebut merasa dirugikan. Mereka mempertanyakan keabsahan seleksi dan dasar rekomendasi yang menjurus kepada monopoli. Salah satu penyedia buku lokal menyampaikan kekecewaannya, menyatakan bahwa mereka sudah lolos kurasi dan masuk sistem m-Arkas kabupaten, tetapi tiba-tiba semua sekolah diarahkan ke penerbit lain. Ini dianggap tidak adil.

Kondisi ini juga berpotensi mengganggu kualitas pendidikan. Sekolah yang sebenarnya membutuhkan buku sesuai kurikulum dan kebutuhan lokal dipaksa membeli buku dari penerbit yang belum tentu sesuai atau relevan dengan kebutuhan pembelajaran di lapangan.

Dalam jangka panjang, praktik semacam ini bisa menjadi preseden buruk. Sekolah tidak lagi diberi ruang untuk merdeka dalam mengelola anggaran dan memenuhi kebutuhan siswanya secara mandiri dan profesional.

Beberapa kepala sekolah juga mengaku sudah mengajukan perubahan RKAS sesuai kebutuhan awal, namun ditolak secara tidak resmi, dan diarahkan untuk mengganti sesuai penerbit yang ditentukan. Mereka berharap ada keberanian dari pihak Dinas Pendidikan untuk mengoreksi kebijakan ini. Jangan sampai sekolah hanya jadi pelaksana tanpa suara dalam hal yang menyangkut mutu pendidikan.

Desakan kepada pemerintah daerah dan DPRD Indramayu untuk turun tangan dalam menyelesaikan persoalan ini pun mulai menguat. Publik berharap adanya audit terbuka atas proses pengadaan dan distribusi buku di wilayah ini.

Selain itu, aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian diminta untuk melakukan penyelidikan independen atas dugaan intervensi pengadaan buku tersebut, karena berpotensi mengarah pada praktik kolusi atau penyalahgunaan wewenang. Jika benar ditemukan unsur pelanggaran atau paksaan terhadap sekolah, maka harus ada sanksi tegas dan evaluasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan kebijakan tersebut.

Pendidikan adalah sektor strategis yang semestinya bebas dari kepentingan bisnis sempit. Sekolah harus diberi otonomi untuk memilih penyedia sesuai kebutuhan, bukan diarahkan kepada opsi yang justru membatasi dan merugikan banyak pihak.