Pelajaran Romawi: Teknik Beton Tahan Lama

Featured Image

Beton Romawi: Kunci untuk Masa Depan yang Lebih Berkelanjutan

Beton adalah salah satu bahan bangunan paling penting dalam dunia modern. Dari gedung pencakar langit hingga jalan raya dan jembatan, material ini menjadi bagian tak terpisahkan dari infrastruktur global. Namun di balik kekuatannya, beton juga menyumbang sekitar 8% emisi karbon dunia. Untuk mengurangi dampak lingkungan, para ilmuwan kini mencari inspirasi dari masa lalu—khususnya dari teknik konstruksi Kekaisaran Romawi.

Mengapa Beton Romawi Menarik Perhatian?

Beton Romawi tidak hanya bertahan selama ribuan tahun, tetapi juga memiliki kemampuan unik: mampu menyembuhkan diri sendiri. Penelitian terbaru menggunakan mikroskop elektron dan spektroskopi Raman menemukan bahwa kunci dari keajaiban ini terletak pada proses “hot mixing”—pencampuran kapur tohor (quicklime) pada suhu tinggi. Teknik ini menciptakan nodul kapur yang bereaksi dengan air ketika retakan terjadi, menghasilkan larutan kalsium yang mengeras dan menutup celah-celah secara alami.

“Ketika retakan muncul, air meresap dan bereaksi dengan kapur, menciptakan solusi yang mengisi dan menyegel kembali celah-celah,” jelas tim peneliti dari MIT. Laboratorium menunjukkan bahwa retakan pada campuran beton Romawi bisa tertutup dalam dua minggu, sementara beton modern sering kali tetap retak.

Emisi yang Setara, Tapi Umur yang Jauh Lebih Panjang

Meski membutuhkan energi dan air lebih banyak dibanding beton modern, studi yang dipublikasikan di jurnal iScience menunjukkan bahwa beton Romawi memiliki potensi umur yang jauh lebih panjang. Perhitungan para peneliti menunjukkan bahwa jika digunakan untuk bangunan, beton Romawi harus mampu bertahan minimal 41% lebih lama agar sebanding dari sisi jejak emisi kumulatif. Untuk struktur jangka pendek seperti jalan raya, beton ini cukup bertahan 29% lebih lama agar bisa menyaingi beton modern.

“Ketika kita mempertimbangkan masa pakai beton, barulah kita mulai melihat manfaat lingkungannya,” ujar insinyur Daniela Martinez dari Universidad del Norte.

Keunggulan Lain: Polusi Udara yang Lebih Rendah

Selain daya tahan yang luar biasa, beton Romawi juga menghasilkan polusi udara yang jauh lebih rendah. Dibanding metode modern, emisi nitrogen oksida dan sulfur oksida dari proses produksi beton Romawi bisa ditekan hingga 98%, terutama jika menggunakan bahan bakar biomassa seperti kayu ek dan cemara.

“Penggunaan biomassa untuk membakar kapur bisa lebih efektif dalam mendekarbonisasi produksi semen modern dibanding sekadar meniru formula Romawi,” ujar Martinez. Dengan semakin meningkatnya fokus pada polusi udara dan perubahan iklim, temuan ini sangat relevan. Nitrogen oksida dan sulfur oksida adalah dua polutan utama yang berdampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Tantangan Perbandingan: Beton Romawi vs Beton Modern

Meski menjanjikan, membandingkan kedua jenis beton ini bukan perkara mudah. Beton modern umumnya diperkuat dengan batang baja, yang rawan berkarat dan mempercepat kerusakan struktur. Beton Romawi tidak menggunakan baja sama sekali—dan justru karena itu, bisa bertahan lebih lama tanpa terpengaruh korosi.

“Korosi baja adalah penyebab utama kerusakan beton, jadi perbandingannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati,” tegas Paulo Monteiro dari UC Berkeley.

Menuju Masa Depan yang Lebih Tangguh dan Hijau

Dengan semakin meningkatnya kesadaran industri konstruksi terhadap pentingnya keberlanjutan, daya tahan material menjadi aspek krusial. Beton yang tahan lama akan mengurangi frekuensi perbaikan dan pembangunan ulang—yang berarti lebih sedikit energi, air, dan bahan mentah yang dikonsumsi dalam jangka panjang.

“Memahami beton Romawi bisa membantu kita memaksimalkan masa pakai struktur, karena keberlanjutan selalu berjalan seiring dengan ketahanan,” ujar Martinez. Tim peneliti kini melanjutkan eksperimen untuk menguji performa beton Romawi dalam kondisi nyata, dengan harapan bisa menggabungkan teknik kuno dengan teknologi modern demi menciptakan bangunan masa depan yang lebih tahan lama dan ramah lingkungan.

Jika beton Romawi bisa bertahan lebih dari 2.000 tahun, bayangkan apa yang bisa dicapai jika kita menggabungkan kearifan kuno ini dengan inovasi teknologi modern.