Peran Pendanaan Hijau dalam Mengurangi Emisi Global

Inisiatif Baru untuk Pendanaan Ekologis di Indonesia
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) mengajukan langkah-langkah strategis dalam upaya menurunkan emisi global. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI yang berlangsung di Jakarta pada 6 Agustus 2025. Kegiatan ini menjadi momen penting bagi para pemangku kepentingan yang berkomitmen terhadap pengelolaan lingkungan dan perlindungan ekosistem.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Diaz Hendropriyono, menyampaikan bahwa terdapat kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan pendanaan untuk program lingkungan hidup. Hal ini semakin mendesak seiring dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang mempercepat target penurunan emisi Indonesia dari 2060 menjadi 2050. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan anggaran yang signifikan.
Diaz menjelaskan bahwa pendanaan berbasis ekologis menjadi salah satu strategi utama. Skema seperti Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE), dan Alokasi Anggaran Kelurahan Berbasis Ekologi (ALAKE) dirancang untuk memberikan insentif kepada daerah yang memiliki kinerja baik dalam melestarikan lingkungan. Namun, ia menekankan bahwa setiap instrumen pendanaan hijau harus mampu memberikan dampak nyata terhadap kelestarian lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan dan komunitas penjaga ekologi.
Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI juga dihadiri oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, Gubernur Kalimantan Utara Zainal Paliwang, Direktur Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Joko Tri Haryanto, serta para kepala daerah dari seluruh Indonesia yang aktif dalam pengembangan pendanaan ekologis. Tema yang diangkat dalam konferensi ini adalah “Menapak Paradigma Baru: Inovasi dan Integritas untuk Pendanaan Hijau yang Transformatif.”
Bima Arya Sugiarto menyoroti pentingnya kegiatan ini, mengingat sekitar 80 persen kepala daerah saat ini merupakan pendatang baru dan sebagian besar berasal dari generasi milenial. Ia menilai hal ini sebagai peluang strategis untuk berkolaborasi dalam mempromosikan isu-isu lingkungan hidup, mengingat generasi milenial memiliki kepedulian besar terhadap keberlanjutan bumi.
Selama tahun 2025, skema ecological fiscal transfer (EFT) telah diadopsi oleh 48 pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota. Kontribusi dari adopsi ini mencapai Rp 529 miliar. Namun, angka ini hanya mencakup 8,9 persen dari seluruh daerah di Indonesia. Salah satu daerah yang menerapkan EFT adalah Kabupaten Siak, Riau, di mana dana ekologis diberikan kepada masyarakat terdampak di sekitar perkebunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, dana ekologis digunakan untuk masyarakat penjaga hutan.
Menurut Indonesia Development Insight, potensi dana ekologis per tahun mencapai Rp10,2 triliun, dengan perhitungan 0,25 persen dari total belanja pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, Koalisi mendorong diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) tentang kewajiban penerapan EFT dalam kebijakan fiskal nasional sebagai bagian dari strategi pemenuhan pendanaan NDC Indonesia.
Dalam konferensi nasional ini, Koalisi memberikan EFT Award 2025 kepada pemerintah daerah dengan komitmen dan inovasi kuat terhadap perlindungan dan pendanaan ekologis. Penerima kategori Inovasi Utama adalah Kabupaten Bulungan di Kalimantan Utara; Kabupaten Siak di Provinsi Riau dan Kota Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara itu, penerima kategori penghargaan khusus meliputi Provinsi Kalimantan Utara – Komitmen tinggi dalam integrasi EFT, Kabupaten Jayapura – Pelopor kebijakan EFT di Indonesia, Kabupaten Bengkalis – Alokasi EFT terbesar, dan Kabupaten Maros – Integrasi aspek Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) dalam EFT.
Selain itu, Koalisi juga meluncurkan dua inisiatif nasional, yakni Green Leaders Forum (GLF) yang menjadi forum tahunan kepala daerah yang berkomitmen ekologi dan Kaukus Parlemen Hijau Daerah (KPHD) yang berisi anggota legislatif (DPRD) dengan komitmen sama. Kedua inisiatif ini bertujuan untuk memperkuat kolaborasi dan koordinasi dalam pengelolaan lingkungan hidup secara nasional.