Sekolah Swasta Berteriak

Kebijakan Pendidikan yang Mengancam Sekolah Swasta
Ketika sekolah negeri harus menambah bangku demi menampung siswa baru yang membeludak, sekolah swasta justru harus berburu murid dengan segala daya upaya. Ironi ini terjadi di tengah jargon “akses pendidikan merata” yang digaungkan pemerintah provinsi. Tahun ajaran 2025/2026 menjadi tahun penuh ujian bagi eksistensi sekolah swasta.
Di Kota Bekasi, SMA dan SMK negeri bahkan harus menambah meja dan kursi karena jumlah siswa yang diterima melebihi daya tampung. Sementara itu, sekolah swasta—dengan segala keterbatasannya—malah harus menelan pil pahit: jumlah pendaftar anjlok drastis. SMA Widya Nusantara kehilangan hampir 40% siswa baru. Dari 39 SMA swasta, lebih dari 1.400 kursi kosong tak terisi.
Keputusan Gubernur Jawa Barat untuk menetapkan batas 50 siswa per rombel memang bertujuan memperluas akses pendidikan, terutama bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu dan korban putus sekolah. Namun, alih-alih membangun ekosistem pendidikan yang setara, kebijakan ini justru menciptakan kesenjangan struktural.
Sekolah negeri diberi kebebasan menambah daya tampung bahkan di luar batas PPDB. Jalur khusus seperti PAPS (penanggulogan anak putus sekolah) menjadi celah baru yang—tanpa pengawasan ketat—berpotensi disalahgunakan. Tak sedikit siswa yang sudah mendaftar ke sekolah swasta justru mencabut berkas dan beralih ke negeri.
Tak hanya mengancam keberlangsungan institusi, kondisi ini menghantam kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan swasta. Ratusan guru terancam kehilangan pekerjaan. Beberapa sekolah bahkan telah memangkas jam kerja staf tata usaha hingga petugas keamanan. Pendidikan yang seharusnya menjadi ladang peradaban, kini terasa seperti ladang persaingan bebas tanpa perlindungan regualtif.
Peran Sekolah Swasta dalam Sistem Pendidikan Nasional
Sekolah swasta bukan pelengkap penderita dalam sistem pendidikan nasional. Di banyak wilayah, sekolah swasta hadir di lokasi yang belum bisa dijangkau sekolah negeri. Mereka adalah pionir, pengisi celah, bahkan benteng terakhir bagi pendidikan masyarakat marjinal.
Namun, kebijakan yang timpang menjadikan mereka seperti rumah panggung yang diinjak dari atas, dihujam dari bawah. Bantuan operasional yang diterima sekolah swasta bergantung pada jumlah siswa. Oleh karena itu, ketika siswa tak datang, BOS pun tak mengalir.
Di Kota Sukabumi, 60% sekolah swasta berstatus RKK (ruang kelas kosong). Delapan sekolah nyaris tutup. Tiga ratus guru kehilangan penghasilan. Di Purwakarta, SMK Farmasi hanya menerima 13 siswa baru, dari biasanya puluhan. Ketua Yayasan Yasri bahkan menyebut ini sebagai “bumerang kebijakan” yang menghantam swasta tanpa belas kasihan.
Menyikapi Kebijakan Pendidikan yang Tidak Seimbang
Kebijakan pendidikan jangan hanya berorientasi pada angka partisipasi sekolah. Kita tidak sedang menghitung berapa banyak murid yang bisa dimasukkan ke ruang kelas, tapi sedang menentukan masa depan siapa yang akan kita siapkan untuk negeri.
Sudah saatnya Pemprov Jabar melibatkan sekolah swasta dalam penyusunan kebijakan pendidikan. Bukan sekadar formalitas, tapi keterlibatan yang bermakna. Penambahan daya tampung sekolah negeri harus dibarengi dengan upaya menjaga keberlangsungan sekolah swasta. Bisa dengan pembatasan jumlah rombel yang adil, pemberian insentif khusus bagi swasta yang menampung siswa dari keluarga tidak mampu, atau minimal komitmen tidak mengganggu siswa yang sudah lebih dulu mendaftar di swasta.
Masa Depan Pendidikan yang Adil dan Merata
Pendidikan bukan ajang survival of the fittest. Negeri dan swasta seharusnya saling melengkapi, bukan saling menyingkirkan. Jika negara hanya berpihak pada yang besar, maka yang kecil akan mati perlahan. Dan, ketika yang kecil mati, kita akan kehilangan ekosistem pendidikan yang adil, merata, dan berkeadaban.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah pendidikan tidak sekadar soal ruang kelas atau bangku kosong, melainkan cerminan ketidakseimbangan kebijakan pemerintah dalam mengelola ekosistem sekolah negeri dan swasta. Ketika sekolah negeri menjadi tumpuan utama bagi warga, sekolah swasta kerap terpinggirkan, padahal keduanya memiliki peran yang saling melengkapi dalam mencerdaskan generasi muda.
Selain itu, kualitas pendidikan juga berpotensi terganggu apabila sekolah negeri terlampau sesak. Guru menghadapi beban kerja yang lebih besar, perhatian terhadap siswa menjadi terbagi, dan interaksi belajar mengajar tidak optimal. Di sisi lain, sekolah swasta yang kehilangan murid terpaksa melakukan efisiensi, yang bisa berujung pada pengurangan guru atau penurunan kualitas fasilitas belajar.
Diperlukan keberanian pemerintah daerah untuk membangun model kolaborasi yang sehat antara sekolah negeri dan swasta. Misalnya, insentif berupa subsidi biaya operasional. Langkah ini tidak hanya meringankan beban negeri, tetapi juga menghidupkan kembali peran swasta dalam mendukung pendidikan publik.