Amnesti dan Abolisi Prabowo: Preseden Buruk di Mata Pengamat Singaparna

Featured Image

Putusan Pengadilan dan Keputusan Presiden yang Mengundang Kontroversi

Pada sidang putusan yang digelar pada 25 Juli 2025, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memvonis Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto dengan hukuman pidana selama 3,5 tahun dan denda sebesar Rp 250 juta. Vonis ini diberikan karena Hasto dianggap terbukti bersalah dalam tindakan suap terhadap komisioner KPU periode 2017-2022, Wahyu Setiawan. Dengan vonis tersebut, Hasto harus menjalani hukuman penjara.

Namun, hanya beberapa hari setelah vonis itu dikeluarkan, Hasto mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Keputusan ini menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat dan kalangan pengamat politik. Amnesti ini dinilai sebagai langkah yang tidak sesuai dengan prinsip penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi yang sering kali menjadi perhatian utama masyarakat.

Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada 18 Juli 2025, Pengadilan Tipikor Jakarta juga memvonis mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau lebih dikenal dengan nama Tom Lembong. Ia dihukum selama 4,5 tahun dan denda sebesar Rp 750 juta subsider. Tom Lembong dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP karena melakukan kelalaian administratif dan penyalahgunaan wewenang secara tidak langsung dalam kasus impor gula.

Tidak jauh berbeda dengan Hasto Kristiyanto, Tom Lembong juga mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, hanya beberapa hari setelah vonis pengadilan dikeluarkan. Keputusan ini juga mengundang kritik dari berbagai pihak, termasuk para pengamat politik dan hukum.

Hak Prerogatif Presiden dan Batasan yang Harus Dipertimbangkan

Menanggapi keputusan Presiden Prabowo Subianto, Teten Sudirman, pengamat politik dan pemerintahan asal Singaparna, menyatakan bahwa amnesti dan abolisi memang merupakan hak prerogatif kepala negara. Menurutnya, hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat 1-2 Konstitusi Republik Indonesia yang memberi kekuasaan kepada Presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

Teten menjelaskan bahwa amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Sementara abolisi merujuk pada peniadaan peristiwa pidana atau penghapusan proses hukum yang sedang berjalan.

Ia menekankan bahwa meskipun konstitusi memberi ruang bagi presiden untuk menggunakan hak prerogatif ini, ruang tersebut bukanlah ruang hampa. "Itu bukan ruang gelap tempat satu orang memutuskan tanpa suara lain. Tapi itu ruang tafsir, ruang kesadaran dan ruang moral yang memerlukan syarat," ujarnya.

Untuk grasi dan rehabilitasi, Presiden harus mendengarkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan untuk amnesti dan abolisi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dampak Negatif dari Amnesti dan Abolisi

Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong dinilai sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum. Banyak kalangan menilai bahwa orang yang terbukti bersalah dalam tindak pidana korupsi justru mendapat ampunan. Hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa korupsi bisa dihindari dengan dalih politik atau rekonsiliasi.

Selain itu, pemberian abolisi kepada Tom Lembong juga dikritik karena dianggap sebagai tanda kerapuhan sistem hukum. Teten menyoroti bahwa aparat hukum yang tidak profesional dan tidak independen bisa menyebabkan orang yang tidak bersalah divonis hukuman penjara.

Kedua kejadian ini menunjukkan bahwa keputusan presiden dalam menggunakan hak prerogatif harus dilakukan dengan hati-hati dan transparan. Jika tidak, maka akan ada risiko bahwa pelaku korupsi akan mengharapkan amnesti dan tidak takut terhadap konsekuensi hukum.

"Semoga saja pemberian hak prerogatif kepala negara itu tidak terus diumbar demi kepentingan pribadi penguasa," ujar Teten.