Ekonom Tidak Percaya Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12%

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tertinggi di Kuartal II 2025, Tapi Ada Keraguan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2025 menunjukkan angka yang sangat menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12% secara tahunan atau year on year (yoy). Angka ini menjadi perhatian besar dari berbagai pihak, termasuk kalangan ekonom dan masyarakat luas.
Namun, meskipun angka tersebut terlihat positif, ada sejumlah kekhawatiran dari para ahli ekonomi mengenai validitas data yang dirilis. Mereka merasa bahwa peningkatan yang terjadi terlalu cepat dan tidak sejalan dengan indikator lain yang mereka amati. Meski begitu, pemerintah tetap membantah dugaan manipulasi data. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa semua data yang dirilis BPS benar-benar merepresentasikan kondisi nyata perekonomian saat ini.
Indikator Positif yang Mendukung Pertumbuhan Ekonomi
Airlangga menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi didukung oleh beberapa indikator positif. Diantaranya adalah:
- Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,97% yoy.
- Investasi meningkat sebesar 6,99% yoy.
- Penjualan eceran naik sebesar 1,19% yoy.
- Transaksi uang elektronik meningkat 6,26% yoy.
- Transaksi online di marketplace meningkat 7,55% qtq.
- Perjalanan wisata nusantara meningkat 22,3%.
- Wisatawan mancanegara naik 23,32% yoy.
- Terdapat penciptaan 3,6 juta lapangan kerja dalam satu tahun terakhir.
Menurut Airlangga, data-data tersebut menunjukkan bahwa ekonomi sedang bergerak ke arah yang lebih baik. Ia juga menekankan bahwa kenaikan transaksi digital memang wajar karena penggunaan teknologi semakin tinggi.
Keraguan dari Kalangan Ekonom
Meski pemerintah optimistis, sejumlah ekonom menilai lonjakan pertumbuhan ekonomi terkesan tidak realistis. Salah satunya adalah Kepala Ekonom BCA, David Sumual. Ia mengakui bahwa angka pertumbuhan investasi memang naik cukup signifikan, namun ia merasa bahwa kenaikan tersebut terlalu tinggi dibanding ekspektasi awalnya.
David juga menyoroti lemahnya konsumsi masyarakat yang tercermin dari penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN). Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan PPN dan PPnBM pada semester I 2025 hanya mencapai Rp 267,3 triliun atau 28,3% dari target APBN 2025, dan terkontraksi 19,7%.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, juga menyampaikan kecurigaannya terhadap pertumbuhan investasi sebesar 6,99% di kuartal II. Ia menilai bahwa kenaikan ini terlalu tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang hanya tumbuh 2,12%. Menurut Faisal, angka tersebut setara dengan kondisi prapandemi Covid-19, sehingga dinilainya di luar dugaan.
Masalah Kebijakan dan Efektivitas Investasi
Faisal juga menyampaikan bahwa ada banyak keraguan dari para investor terkait dengan kebijakan pemerintah. Ia menilai bahwa efektivitas kebijakan tersebut masih diragukan, terutama karena adanya perlambatan kredit investasi dalam negeri. Hal ini terlihat dari investasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, serta kredit investasi yang sedang bermasalah.
Ekonom senior Indef, Tauhid Ahmad, turut mempertanyakan perhitungan komponen PMTB yang dinilai terlalu tinggi. Ia menjelaskan bahwa PMTB (Pembelian Barang Tidak Tetap) meningkat drastis menjadi 7%, namun biasanya PMTB meningkat pada kuartal III atau IV seiring maraknya pembangunan gedung dan konstruksi.
Tauhid menegaskan bahwa hal ini menjadi pertanyaan besar. Mengapa PMTB bisa naik tinggi di kuartal II? Ini menjadi isu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut.