Energi Panas Bumi, Solusi Listrik Murah yang Tertunda

Potensi Besar Energi Panas Bumi dalam Perekonomian Nasional
Energi panas bumi memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Dalam konteks krisis energi global yang diperparah oleh ketegangan geopolitik, seperti ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran, Indonesia perlu serius mengembangkan sumber daya energi dalam negeri. Salah satu potensi yang sudah terbukti tetapi belum optimal adalah energi panas bumi.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan bahwa energi panas bumi telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian dan ketahanan energi nasional sejak pertama kali dikomersialkan lewat PLTP Kamojang pada 1983. Energi ini tidak hanya menyumbang listrik, tetapi juga menjadi sumber penerimaan negara. Sepanjang 2010 hingga 2024, total Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor ini mencapai sekitar Rp 21,43 triliun.
Dari segi pembangkitan, energi panas bumi tergolong efisien. Dalam sepuluh tahun terakhir, rata-rata biaya pembangkitan listrik panas bumi hanya sekitar Rp 1.108 per kWh. Angka ini lebih rendah dibanding rata-rata biaya pembangkitan nasional sebesar Rp 1.563 per kWh. Substitusi listrik dari PLTD dan PLTG ke PLTP dapat menekan anggaran subsidi energi dan memperbaiki kondisi fiskal.
Rata-rata biaya pembangkitan PLTD selama 2019–2023 tercatat Rp 5.737 per kWh dan PLTG sebesar Rp 1.701 per kWh. Sementara PLTP hanya Rp 749 per kWh. Dengan kapasitas terpasang PLTD sebesar 3.426 MW dan asumsi harga minyak mentah 70 dollar AS (setara Rp 1,15 juta) per barrel, substitusi PLTD dengan PLTP diperkirakan dapat menghemat devisa impor migas sekitar 6,53 miliar dollar AS atau setara Rp 107,7 triliun per tahun.
Substitusi PLTG ke PLTP juga berpotensi menekan biaya bahan bakar hingga 1,04 miliar dollar AS (Rp 17,1 triliun) per tahun, dengan asumsi harga gas 8 dollar AS per MMBTU dan kapasitas terpasang PLTG sebesar 2.798,65 MW.
Manfaat Energi Panas Bumi bagi Daerah Penghasil
Selain untuk nasional, energi panas bumi juga memberi manfaat besar bagi daerah penghasil. Selama 2019–2024, dana bagi hasil (DBH) panas bumi yang disalurkan ke daerah mencapai Rp 10,82 triliun. Dana tersebut tersebar di wilayah kerja utama seperti Tapanuli Utara dan Toba (PLTP Sarulla), Garut (PLTP Darajat dan Kamojang), Bandung dan Bandung Barat (PLTP Wayang Windu dan Patuha), Bogor (PLTP Salak), serta Tanggamus (PLTP Ulubelu).
Industri ini memiliki nilai tambah tinggi. Analisis input-output yang dilakukan ReforMiner menunjukkan nilai indeks multiplier effect sebesar 5,8745. Artinya, setiap investasi Rp 1 triliun dalam panas bumi dapat menghasilkan nilai tambah Rp 5,87 triliun dalam perekonomian nasional.
Tantangan dalam Pengembangan Energi Panas Bumi
Meski potensinya besar, pengembangan energi panas bumi masih relatif lambat. Sejak 42 tahun lalu, kapasitas terpasangnya baru 2.638 MW—atau hanya bertambah 62,82 MW per tahun. Baru dalam 10 tahun terakhir terlihat peningkatan signifikan, dari 1.347 MW pada 2015 menjadi 2.638 MW di 2024, atau rata-rata 129 MW per tahun.
Jika target RUPTL 2025–2034 tercapai, maka kapasitas akan bertambah 5.157 MW dalam 10 tahun ke depan, atau 515 MW per tahun. Namun, ini butuh dorongan kebijakan yang tepat.
Komaidi menyebut tantangan utama ada pada struktur investasi. Sekitar 70 persen biaya produksi panas bumi adalah investasi awal. Sisanya terdiri atas biaya operasi dan perawatan 15 persen, serta pajak 15 persen. Berbeda dengan listrik berbasis fosil yang sebagian besar biayanya justru berasal dari energi primer.
Keunggulan Energi Panas Bumi dalam Kelompok EBET
Dalam kelompok Energi Baru dan Terbarukan (EBET), panas bumi punya banyak keunggulan. Ia tidak tergantung cuaca, tidak butuh lahan luas, tak terdampak fluktuasi harga energi primer, biaya operasi murah, dan tak bisa diekspor—sehingga menjamin pasokan domestik.
Semua ini menunjukkan perlunya kebijakan yang mendorong pengembangan panas bumi lebih agresif, agar perannya terhadap perekonomian nasional dan ketahanan energi makin optimal.