Lima Negara Bebas Pajak Kripto, Surga Investor Digital

Negara yang Membebaskan Pajak Aset Kripto
Banyak negara di dunia saat ini menerapkan regulasi berupa pajak terhadap aset berupa mata uang kripto seperti Bitcoin, Ethereum, Solana, dan Cardano. Alasan utama penerapan pajak tersebut adalah karena aset kripto bisa merugikan negara karena merupakan aktivitas ekonomi digital yang tidak tercatat, memiliki risiko tinggi karena fluktuatif, serta berpotensi digunakan untuk pencucian uang atau pendanaan ilegal.
Namun, ada beberapa negara yang memutuskan untuk membebaskan pajak atas aset kripto. Berikut adalah lima negara yang memberlakukan kebijakan tersebut:
1. Kepulauan Cayman
Kepulauan Cayman dikenal sebagai yurisdiksi tanpa pajak penghasilan, pajak keuntungan modal (capital gain), maupun pajak perusahaan. Aturan ini juga berlaku untuk aktivitas kripto seperti trading, holding, maupun mining.
Pada April 2025, Cayman memperbarui regulasi aset digital melalui Virtual Asset Service Providers Act. Regulasi ini mengatur segala aset virtual, termasuk kripto, dompet digital, layanan kustodian, dan lainnya, agar memiliki sistem lisensi yang transparan, aman, serta patuh terhadap standar internasional.
Stabilitas ekonomi di sana didukung oleh penggunaan mata uang yang dipatok terhadap kurs dollar AS, serta sistem hukum berbasis Common Law yang menjadi fondasi hukum umum di Inggris.
2. Uni Emirat Arab
Uni Emirat Arab, termasuk Dubai dan Abu Dhabi, memberlakukan nol pajak atas semua bentuk aktivitas kripto, baik perdagangan, staking, mining, maupun penjualan aset digital. Selain itu, pajak pendapatan pribadi dan keuntungan dari modal yang berasal dari aset kripto juga dibebaskan sepenuhnya.
Regulasi ini diatur dan diawasi oleh Dubai Virtual Asset Regulatory Authority dan badan pengatur terkait lainnya di negara-negara UEA. Dengan regulasi ini, UEA menjadi salah satu wilayah yang menarik bagi pemilik aset kripto. Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 25,3 persen warga UEA telah memiliki aset kripto.
3. El Salvador
El Salvador adalah negara pertama yang mengakui mata uang kripto Bitcoin sebagai alat pembayaran sah pada 2021. Negara ini juga membebaskan pajak penghasilan dan capital gain untuk transaksi Bitcoin. Melalui Undang-Undang Aset Digital, warga dapat menggunakan dompet digital seperti Chivo Wallet tanpa terkena kewajiban pajak.
Selain itu, pemerintah sedang membangun Bitcoin City, sebuah kota ramah kripto berbasis energi panas bumi yang akan terbebas dari pajak properti, penghasilan, maupun keuntungan modal. Namun, aset kripto lain selain Bitcoin masih dikenakan pajak jika digunakan untuk kegiatan komersial atau investasi yang menghasilkan keuntungan.
4. Jerman
Jerman memberlakukan bebas pajak atas aset kripto, tetapi dengan ketentuan dan syarat tertentu. Pemerintah hanya memberikan insentif bebas pajak kepada investor yang memegang aset kripto lebih dari 12 bulan. Jika syarat tersebut terpenuhi, maka penjualan, penukaran (swap), dan penggunaan kripto tidak akan dikenakan pajak.
Untuk aktivitas jangka pendek, investor diberi ambang bebas pajak hingga 1.000 euro (sekitar Rp 18,9 juta) per tahun. Di atas nilai tersebut, barulah masyarakat yang menggunakan aset kripto akan dikenakan pajak sesuai aturan yang berlaku.
5. Portugal
Portugal juga memberikan pembebasan pajak capital gain untuk aset kripto dengan syarat tertentu. Aset kripto yang disimpan lebih dari 365 hari (1 tahun) akan bebas pajak. Namun, untuk aset yang dijual dalam waktu kurang dari setahun, investor dikenakan pajak sebesar 28 persen.
Portugal sempat memperkenalkan program Non-Habitual Resident (NHR) yang populer sebagai jalur bebas pajak bagi pendatang. Meski program ini resmi ditutup per 31 Maret 2025, warga asing yang sudah terdaftar sebelum tanggal tersebut tetap bisa menikmati insentif bebas pajak, termasuk atas penghasilan kripto dari luar negeri.
Keuntungan dan Persyaratan
Kelima negara di atas menjadi surga bagi pemilik aset kripto karena aset mereka tidak dikenakan pajak. Namun, para pemilik aset kripto, terutama yang berasal dari luar negeri, harus memenuhi syarat yang berlaku. Salah satunya adalah memenuhi persyaratan kependudukan yang sah.
Selain itu, mereka juga harus memenuhi berbagai dokumen legal terkait kepemilikan aset, serta mematuhi regulasi yang berlaku di lima negara tersebut. Tanpa dokumen-dokumen tersebut, insentif pajak kemungkinan besar tidak akan berlaku atau justru menimbulkan risiko hukum.