Medan Hari Ini: Gepeng Merajalela Jelang HUT RI ke-80, Kota Tertampar Kebiasaan

Kota Medan yang Bersolek Tapi Terluka Sosial
Kota Medan kini sedang bersiap menyambut peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-80. Berbagai dekorasi seperti bendera merah putih dan umbul-umbul berwarna-warni terpampang di sejumlah tempat, baik di perkantoran maupun jalanan protokol. Namun, di balik semaraknya pesta kemerdekaan, ada satu ironi yang tak bisa diabaikan: semakin banyaknya gelandangan dan pengemis (gepeng) yang menghiasi ruang publik.
Fenomena ini menunjukkan paradoks yang nyata. Di satu sisi, kota ini tampak megah dan bersih, namun di sisi lain, luka sosial masih terbuka lebar. Di persimpangan lampu merah, trotoar Jalan HM Yamin, hingga emperan toko, gepeng hadir bukan hanya sebagai pengisi ruang, tapi juga sebagai pengingat bahwa ada bagian dari masyarakat yang terus-menerus ditinggalkan.
Tidak sedikit dari mereka membawa anak-anak kecil, memanfaatkan simpati warga yang juga tengah menghadapi tekanan ekonomi. Ini menunjukkan betapa kompleksnya masalah sosial yang terjadi di kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia.
Kondisi yang Harus Menjadi Alarm Darurat
Sebagai kota besar, kondisi ini seharusnya menjadi alarm darurat. Bukan hanya soal estetika atau kenyamanan, tetapi juga tentang hukum dan moral. Ada aturan yang jelas dalam UUD 1945, yaitu Pasal 34 Ayat (1), yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial serta UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mewajibkan pemerintah daerah untuk menjamin layanan dasar di bidang sosial.
Ini berarti tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak bertindak. Tidak boleh ada lagi alasan "tidak tahu" atau "tidak punya anggaran". Masalah ini harus segera ditangani dengan serius.
Pertanyaan Mengenai Dinas Sosial
Yang menjadi sorotan utama adalah Dinas Sosial Kota Medan. Apakah instansi ini hanya aktif di atas kertas? Hingga saat ini, belum ada program nyata yang mampu menyelesaikan masalah gepeng secara menyeluruh. Rumah singgah tidak berjalan, edukasi sosial tidak terdengar, dan program rehabilitasi jalanan nyaris tidak ada.
Kepala Dinas Sosial Kota Medan, Khoiruddin, memilih diam saat dikonfirmasi. Diam yang terlalu nyaring. "Kalau anggaran sosial ada, pejabat lengkap, tapi aksi nyata nyaris nihil, wajar jika publik bertanya: apakah jabatan walikota dan para pejabatnya hanya untuk pencitraan?" tegas Otti Batubara, Direktur Eksekutif BARAPAKASI.
Menurutnya, satu anak kecil yang mengemis di jalan sudah cukup menjadi tanda bahwa sistem sosial kita sedang tidak baik-baik saja.
Rakyat Butuh Pemimpin yang Aktif
Warga Medan tidak membutuhkan pemimpin yang hanya hadir di panggung seremonial atau sekadar menghiasi baliho dan spanduk. Kota ini butuh pemimpin yang turun langsung ke lapangan, mendengar keluhan rakyat, dan menghadirkan kebijakan yang nyata.
Setiap gepeng yang tidur di trotoar adalah cermin kegagalan sistem. Jika Walikota Medan masih memilih diam, maka rakyat punya hak untuk mempertanyakan tanggung jawabnya.
Otti menyarankan beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
- Penertiban gepeng secara sistematis dan manusiawi. Bukan sekadar razia temporer, tapi solusi jangka panjang.
- Transparansi kinerja Dinas Sosial. Publik berhak tahu ke mana anggaran digunakan.
- Pembentukan Tim Khusus Penanganan Gepeng. Fokus pada rehabilitasi, edukasi, dan reintegrasi sosial.
- Kolaborasi lintas sektor. Mengajak ormas, tokoh agama, hingga komunitas sipil agar pendekatannya lebih menyeluruh dan berkelanjutan.
Jika semua itu masih tak sanggup dijalankan, maka masyarakat berhak mengambil sikap paling tegas: menuntut Walikota mundur dari jabatannya.
Janji Tak Cukup, Rakyat Butuh Bukti
"Yang dibutuhkan saat ini bukan lagi janji, tapi bukti. Bukan pidato panjang, tapi kerja nyata," pungkas Otti. Ia menegaskan, sejarah akan mencatat siapa pemimpin yang benar-benar hadir melindungi rakyat kecil.
Sebab pemimpin sejati bukan sekadar pejabat yang duduk di balik meja, melainkan sosok yang turun menyelesaikan persoalan, sekecil apa pun itu. Dan bagi mereka yang memilih diam di tengah derita rakyat, sejarah hanya akan mengenangnya sebagai penguasa yang abai.