Perbedaan Pendapat Pemerintah dan Dosen Hukum tentang Pidana Bendera One Piece

Fenomena Pengibaran Bendera One Piece di Tengah Perayaan Kemerdekaan Indonesia
Di tengah peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 pada 17 Agustus 2025, muncul sebuah fenomena menarik di media sosial dan ruang publik. Banyak warga Indonesia mulai memasang bendera bergambar tengkorak dan tulang bersilang, yang merupakan simbol dari serial anime Jepang One Piece. Bendera ini dikenal sebagai Jolly Roger dan sering dikaitkan dengan para bajak laut dalam cerita tersebut.
Pengibaran bendera ini tidak hanya terjadi di rumah-rumah, tetapi juga di kendaraan dan tempat umum. Bagi sebagian masyarakat, tindakan ini menjadi bentuk ekspresi kekecewaan mereka terhadap kinerja pemerintah serta situasi sosial dan politik yang dinilai belum membaik. Meski demikian, penggunaan bendera ini juga menimbulkan kontroversi karena dianggap mengganggu kesakralan perayaan kemerdekaan.
Pernyataan Pemerintah tentang Konsekuensi Hukum
Menko Polkam Budi Gunawan menyampaikan bahwa ada provokasi dari sebagian kelompok untuk menurunkan muruah bendera Merah Putih dan menggantinya dengan simbol-simbol fiksi. Ia menegaskan bahwa pengibaran bendera yang mencemarkan kehormatan bendera Merah Putih bisa dikenai konsekuensi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Ia menekankan bahwa pemerintah akan mengambil tindakan hukum secara tegas jika ada unsur kesengajaan dan provokasi yang bertujuan untuk merusak ketertiban dan kewibawaan simbol negara. Hal ini dilakukan untuk menjaga rasa hormat terhadap bendera yang dianggap sebagai simbol perjuangan bangsa.
Pandangan Menteri Sekretaris Negara
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa masyarakat bisa terkena konsekuensi hukum jika mereka dengan sengaja mengajak orang lain untuk mengibarkan bendera One Piece daripada bendera Merah Putih. Ia menilai bahwa tindakan seperti ini bisa mengurangi kesakralan perayaan kemerdekaan.
Prasetyo menekankan bahwa pemasangan bendera One Piece saat momen penting seperti peringatan kemerdekaan tidak dapat dibenarkan. Ia juga khawatir bahwa tindakan ini bisa mengubah makna dari ekspresi yang semula hanya sebagai bentuk kebebasan berekspresi menjadi tindakan yang dianggap tidak pantas.
Perspektif Ahli Hukum Pidana
Beberapa ahli hukum pidana menilai bahwa pengibaran bendera One Piece tidak dapat dipidana. Muhammad Fatahillah Akbar, pengajar hukum pidana di Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Menurutnya, mengibarkan bendera bajak laut sama halnya dengan mengibarkan bendera partai, klub sepak bola, atau grup musik.
Dia menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 hanya melarang merusak bendera Merah Putih, bukan mengibarkan bendera lain. Oleh karena itu, pengibaran bendera One Piece tidak bisa diproses hukum selama tidak ada niat jahat atau tujuan menghina.
Orin Gusta Andini, pengajar hukum pidana di Universitas Mulawarman, setuju dengan pandangan ini. Ia menilai bahwa pemidanaan terhadap pengibar bendera One Piece justru akan melanggar kebebasan berekspresi. Menurutnya, kecuali bendera tersebut digunakan untuk menggantikan bendera negara dalam upacara resmi, tidak ada alasan hukum untuk menindaknya.
Chairul Huda, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, juga menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece tidak bisa dipidana. Ia menilai bahwa tindakan ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi warga negara. Namun, ia menekankan bahwa bendera tersebut tidak boleh ditempatkan lebih tinggi dari bendera Merah Putih.
Kesimpulan
Fenomena pengibaran bendera One Piece di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia menunjukkan kompleksitas antara kebebasan berekspresi dan perlindungan simbol-simbol negara. Meski ada pernyataan dari pihak pemerintah yang mengancam konsekuensi hukum, banyak ahli hukum menilai bahwa tindakan ini tidak dapat dipidana selama tidak ada niat jahat atau pelanggaran aturan yang jelas. Masyarakat pun tetap memiliki hak untuk menyampaikan pendapat mereka, asalkan tidak melanggar prinsip kesakralan dan rasa hormat terhadap simbol-simbol nasional.