31 Tahun Kho Ping Hoo: Sang Penulis Silat yang Tak Bisa Bertarung

Featured Image

Perjalanan Kho Ping Hoo, Sang Penulis Cerita Silat Legendaris

Kho Ping Hoo, atau dikenal juga dengan nama Asmaraman Sukowati, adalah salah satu tokoh penting dalam dunia sastra Indonesia khususnya dalam genre cerita silat. Ia meninggal pada 22 Juli 1994, tepatnya 31 tahun yang lalu. Selama hidupnya, ia telah menghasilkan ratusan judul cerita silat Cina kuno yang sangat populer di masanya. Beberapa karya terkenalnya antara lain Pendekar Baju Putih (1959), Darah Mengalir di Borobudur (1959), Keris Pusaka Nogopasung (1980), dan serial cerita terpanjangnya yaitu Kisah Keluarga Pulau Es yang terdiri dari 17 judul.

Peran Kho Ping Hoo dalam mempopulerkan cerita silat berlatar Cina di Indonesia tidak bisa dipandang remeh. Menurut peneliti dari Yusof Ishak Institute, Singapura, Leo Suryadinata, ia memiliki kontribusi besar dalam menjadikan cerita silat Cina sebagai bagian dari sastra Indonesia. Meski begitu, Kho Ping Hoo tidak menguasai aksara maupun bahasa Cina secara langsung.

Latar Belakang dan Kehidupan Awal

Kho Ping Hoo lahir dari keluarga keturunan Tionghoa dengan garis keturunan Jawa dari pihak neneknya. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, ia dan keluarganya sering berpindah tempat tinggal akibat konflik rasial dan tindakan kekerasan yang terjadi, terutama saat Belanda melancarkan agresi militer. Ia pernah tinggal di beberapa kota seperti Surabaya, Sragen, Solo, dan Tasikmalaya.

Setelah menetap di Tasikmalaya, kondisi kehidupan Kho Ping Hoo mulai membaik. Di sana, ia bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Perusahaan Pengusaha Pengangkutan Truk (P3T) untuk wilayah Priangan Timur. Namun, sejak usia dini, kehidupannya penuh dengan kesulitan. Putri keempatnya, Tina Asmaraman, menceritakan bahwa kakeknya sempat jatuh sakit karena tekanan pikiran akibat tidak mampu membantu sanak saudara yang membutuhkan bantuan.

Perjalanan Karier dan Kesulitan

Meskipun hidupnya penuh tantangan, Kho Ping Hoo tetap berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pada usia 14 tahun, ia memutuskan berhenti sekolah setelah hanya satu tahun menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School. Setelah itu, ia menjalani berbagai pekerjaan demi keluarga. “Hidupnya memang sulit sebelum menjadi penulis,” ujar Tina.

Pada tahun 1963, kerusuhan di Tasikmalaya membuatnya terpukul. Banyak properti milik warga keturunan Tionghoa dibakar dan dirusak, termasuk rumah Kho Ping Hoo. Situasi tersebut membuatnya ingin pindah ke Tiongkok, namun niat itu dibatalkan karena memikirkan anak-anaknya yang masih kecil. Ia juga sering mengalami diskriminasi rasial, termasuk ejekan karena logat Jawanya yang kuat.

Keterampilan dan Inspirasi

Meskipun piawai menulis cerita silat, Kho Ping Hoo sebenarnya tidak memiliki keahlian dalam ilmu bela diri. Menurut putrinya, Tina Asmaraman, ayahnya bukanlah seorang pendekar atau guru silat. Ia hanya sesekali bermain silat-silatan bersama ayahnya, yang merupakan kakek Tina.

Inspirasi utamanya berasal dari film-film silat produksi Hong Kong dan Taiwan. Selama tiga dekade menekuni penulisan cerita silat, ia berhasil menerbitkan sekitar 148 judul. Meskipun kisah-kisahnya berlatar budaya Tiongkok, ia tidak menguasai bahasa Mandarin baik secara lisan maupun tulisan, bahkan belum pernah menginjakkan kaki di Tiongkok.

Peran dalam Masyarakat dan Penghargaan

Selama masa pendudukan Jepang, Kho Ping Hoo pernah bekerja sebagai juru tulis di perusahaan angkutan bernama TSH yang berlokasi di Tasikmalaya. Ia menekuni pekerjaan tersebut selama 12 tahun, dan di sela-sela kesibukannya, ia masih sempat menulis cerita pendek.

Ia juga sangat mengagumi ajaran Konfusius dan pemikiran filsuf India, Jiddu Krishnamurti. Nilai-nilai kebijaksanaan ini sering disisipkan dalam karyanya, terutama dalam serial Bu Kek Siansu. Nilai-nilai tersebut mencakup pandangan tentang kehidupan, cinta, kematian, alam, hingga nasionalisme.

Nama dan Pengaruh Terhadap Kehidupan

Pada tahun 1967, setelah diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967, Kho Ping Hoo memutuskan menggunakan nama Indonesia Asmaraman Sukowati. Putrinya menduga bahwa ayahnya memilih nama tersebut karena memiliki pandangan tinggi terhadap cinta. Dalam karya-karyanya, ia sering mengangkat tema percintaan, termasuk hubungan lintas etnis dan agama.

Karya-karya Kho Ping Hoo juga dinikmati oleh tiga presiden Indonesia, yaitu BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Joko Widodo (Jokowi). Bahkan musisi balada terkenal, Iwan Fals, menyelipkan lirik yang menyebutkan, “Kacamata tebal, maklum kutu buku, Ngoceh paling jago, banyak baca Kho Ping Hoo” dalam lagu Teman Kawanku Punya Teman sebagai bentuk penghargaan terhadap pengaruh besar sang penulis.

Penghargaan dan Rencana Masa Depan

Kho Ping Hoo pernah menerima penghargaan di bidang seni sastra dari Bupati Sragen pada tahun 2005, serta penghargaan kesusastraan dari Perkumpulan Masyarakat Surakarta pada 2012. Tiga tahun kemudian, pada 2014, ia dianugerahi Satyalancana Kebudayaan oleh presiden sebagai bentuk apresiasi atas kontribusinya dalam dunia cerita silat.

Beberapa kali muncul gagasan untuk mendirikan museum Kho Ping Hoo di Sragen. Namun, hingga 2024, rencana tersebut belum direalisasikan oleh pemerintah daerah setempat.