43 Kasus Perkawinan Anak di Sumbawa, Kehamilan Tak Diinginkan Jadi Penyebab Utama

Penurunan Angka Perkawinan Anak di Kabupaten Sumbawa
Kasus perkawinan anak di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Dari Januari hingga Juli 2025, tercatat sebanyak 43 kasus perkawinan anak, sementara pada tahun 2024 jumlahnya mencapai 79 kasus. Data ini diperoleh dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Sumbawa.
Kepala Bidang Kesetaraan Gender dan Peningkatan Kualitas Keluarga, Nurfaridah, mengonfirmasi hal tersebut saat dihubungi. Ia menyatakan bahwa angka perkawinan anak di Sumbawa meningkat dalam dua tahun terakhir. “Pada tahun 2024 yang ditangani mencapai 79 kasus. Selanjutnya, pada tahun 2025 ini, hingga Juli ada 43 kasus yang diprediksi akan bertambah, kemungkinan bisa mencapai 100 kasus,” ujarnya.
Usia anak-anak penyintas perkawinan tersebut berkisar antara 15-16 tahun. Ironisnya, kenaikan angka perkawinan anak ini terjadi pada bulan Mei hingga Juli. Kasus ini dominan terjadi di Kecamatan Plampang, Labangka, dan Moyo Utara. “Untuk kasus perkawinan anak terjadi hampir di setiap kecamatan, tetapi ada beberapa kecamatan yang cenderung tinggi pada tahun 2025 ini. Entah ini terjadi mungkin karena pengaruh teman sebaya,” tambahnya.
Ida menjelaskan bahwa munculnya kasus perkawinan anak disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor utama adalah dampak pergaulan bebas, yang menyebabkan banyak remaja melakukan hubungan seksual di luar nikah dan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, minimnya perhatian dan pengasuhan orang tua juga berkontribusi. Rata-rata latar belakang orang tua dari penyintas perkawinan anak berasal dari keluarga broken home dan ekonomi menengah ke bawah.
“Delapan fungsi keluarga tidak dijalankan dengan baik. Jadi anak-anak penyintas tidak mendapatkan pengasuhan dari kedua orang tuanya,” ungkap Ida. Ia menekankan pentingnya pengasuhan dari kedua orang tua agar anak tumbuh dan berkembang dengan baik, serta semua haknya terpenuhi secara fisik maupun mental.
Faktor pendidikan juga menjadi penyebab pernikahan usia dini, meskipun tidak terlalu dominan. “Faktor pergaulan bebas paling banyak jadi pemicu kasus ini. Kami akan lebih intens lagi melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang pendewasaan usia perkawinan di SMA/SMK sederajat,” ujarnya.
Upaya yang dilakukan untuk menangani kehamilan yang tidak diinginkan meliputi konseling bagi yang sudah hamil, pemeriksaan kesehatan, serta edukasi KIE dalam kelas parenting dan kesehatan reproduksi. “Edukasi kesehatan reproduksi kepada penyintas dan keluarga serta melakukan koordinasi dan komunikasi dengan tenaga pendamping keluarga (stunting) di kecamatan,” katanya.
Ida menegaskan bahwa kehamilan di usia anak sangat berisiko bagi kesehatan ibu dan bayi, seperti pendarahan, kelahiran prematur, dan berat bayi yang lahir di bawah standar yang dapat menyebabkan risiko stunting. Ia mengajak semua pihak, terutama keluarga, berperan aktif mencegah terjadinya angka perkawinan anak dan menguatkan fungsi keluarga.
“Kita harus bergerak bersama, mari perkuat peran untuk saling menjaga di lapangan. Peran desa dan kader keluarga sangat penting. Begitu juga pemangku adat dan tokoh agama yang harus bersinergi dalam pencegahan kasus perkawinan anak ke depan,” harap Ida.