Demonstrasi di KPK dan ESDM, AMTI Minta Izin PT HWR Dicabut

Aksi Demonstrasi LSM-AMTI di Depan KPK dan Kementerian ESDM
Rabu, 23 Juli 2025, sebuah aksi demonstrasi besar digelar oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (LSM-AMTI) di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Aksi ini dipimpin langsung oleh Ketua Umum DPP LSM AMTI, Tommy Turangan, yang mengecam tindakan perusahaan PT Hakian Wellem Rumansi (HWR) yang dinilai merusak lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat di wilayah Kecamatan Ratatotok, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara.
Tommy Turangan menjelaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk kepedulian terhadap penyelamatan lingkungan dan perlindungan hak masyarakat. Ia menyatakan bahwa aktivitas perusahaan HWR di lokasi tambang telah menyebabkan berbagai masalah seperti penyerobotan lahan warga, kerusakan lingkungan, serta dugaan pelanggaran hukum lainnya.
Sebelum melakukan aksi demonstrasi, LSM-AMTI telah melaporkan dugaan pelanggaran tersebut ke Bareskrim Polri, KPK, dan Kementerian ESDM. Dalam laporan tertulisnya, Tommy menyampaikan beberapa tuntutan kepada lembaga-lembaga tersebut, termasuk untuk segera melakukan investigasi terhadap dugaan penggelapan pajak dan pelanggaran lain yang dilakukan oleh PT HWR.
Massa aksi membawa berbagai spanduk dengan tulisan-tulisan yang mewakili keluhan masyarakat, seperti "Bekukan PT HWR", "Jangan pura-pura sakit", dan "Dugaan penggelapan pajak". Spanduk-spanduk ini menjadi simbol perjuangan masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh perusahaan tersebut.
Tuntutan Kepada KPK dan Kementerian ESDM
Dalam aksinya di depan kantor KPK, LSM-AMTI meminta KPK segera turun ke lapangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT HWR. Tommy juga menduga adanya oknum-oknum mantan pemimpin yang diduga mendukung aktivitas perusahaan di lokasi tambang.
Setelah itu, massa aksi berpindah ke kantor Kementerian ESDM. Di sana, Tommy kembali menyampaikan orasi dan menuntut agar pihak kementerian segera mengambil tindakan cepat untuk membekukan aktivitas PT HWR di area tambang Ratatotok. Ia menegaskan bahwa perusahaan tersebut diduga melakukan penyerobotan lahan, kerusakan lingkungan, serta kejahatan agraria yang harus ditangani secara serius.
Menurut Tommy, Kementerian ESDM telah menolak Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari PT HWR untuk periode 2024–2026. Hal ini juga didukung oleh rekomendasi DPRD Minahasa Tenggara yang meminta penghentian operasional perusahaan tersebut. Namun, anehnya, PT HWR tetap beroperasi meskipun RKAB-nya ditolak.
Peran Aktivis dan Dugaan Pembangkangan
Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Deddy Rundengan, yang ikut memimpin aksi tersebut juga menyatakan bahwa kegiatan PT HWR adalah bentuk pembangkangan terhadap aturan. Ia menilai bahwa perusahaan tersebut terus beroperasi tanpa memperhatikan kebijakan yang sudah ditetapkan.
Tommy menegaskan bahwa LSM-AMTI akan kembali melakukan aksi demonstrasi dengan jumlah peserta yang lebih besar jika KPK dan Kementerian ESDM belum menindaklanjuti tuntutan mereka. Ia menilai bahwa rekomendasi DPRD Mitra dan berbagai dugaan pelanggaran bisa menjadi dasar bagi pemerintah untuk membekukan izin operasional PT HWR.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Kuasa Hukum warga yang tanahnya diduduki PT HWR, Dr Steven Y Pailah SH, juga memberikan pernyataan. Menurutnya, kegiatan pertambangan di area seluas lebih dari 100 hektare telah menyebabkan deforestasi dan pencemaran lingkungan yang sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar.
Ia menambahkan bahwa Pengawas Pertambangan telah melakukan pemeriksaan teknis dan memberikan peringatan keras berkali-kali karena ketidakmampuan PT HWR dalam memenuhi syarat pengelolaan, eksplorasi, produksi, dan paska produksi. Berdasarkan laporan pengawasan tambang Kementerian ESDM RI, PT HWR tidak melakukan proses reboisasi dan penanaman kembali setelah usaha pertambangan.
Steven juga menyatakan bahwa izin usaha pertambangan PT HWR akan berakhir pada November 2025. Artinya, selama 10 tahun, perusahaan tersebut tidak melakukan tindakan perbaikan lingkungan. Jika izin habis, yang tersisa hanya kolam besar dan tanah tandus akibat kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab.