Kecanduan Medsos, Meme Absurd, dan Gejala Otak Rusak

Featured Image

Fenomena Brain Rot dan Dampaknya pada Generasi Muda

Fenomena yang dikenal sebagai brain rot sedang menjadi topik perbincangan di kalangan masyarakat, khususnya di tengah peningkatan paparan konten-konten yang tidak bermutu atau bahkan absurd di media sosial. Istilah ini telah menjadi kata tahunan di Oxford pada 2024, menggambarkan kondisi penurunan kemampuan kognitif dan mental akibat penggunaan teknologi digital yang berlebihan.

Menurut sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Brain Sci pada 7 Maret 2025, brain rot dapat menyebabkan penurunan sensitivitas emosional, kecenderungan berpikir berlebihan, serta munculnya konsep negatif yang dibuat sendiri. Hal ini terjadi karena perilaku seperti scrolling tanpa henti di media digital dan kecanduan internet, yang secara langsung memengaruhi tekanan psikis, kecemasan, serta depresi.

Studi tersebut menjelaskan bahwa faktor-faktor ini dapat melumpuhkan fungsi eksekutif otak, termasuk memori, perencanaan, dan pengambilan keputusan. Kehadiran media digital yang sangat masif, didukung oleh feedback loops yang dikendalikan dopamin, semakin memperparah efek-efek negatif dari fenomena ini.

Pada dasarnya, brain rot merujuk pada penurunan kemampuan kognitif dan kelelahan mental yang dialami oleh banyak orang, terutama generasi muda dan remaja. Penyebab utamanya adalah paparan berlebihan terhadap konten online berkualitas rendah, terutama di media sosial. Gejala umumnya mencakup kabut otak (brain fog) dan kesulitan berkonsentrasi, yang bisa diperparah oleh waktu layar yang berlebihan atau paparan konten digital yang tidak bermakna.

Istilah brain rot pertama kali diperkenalkan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya Walden, yang terbit pada 1854. Meskipun demikian, ia hanya menangkap esensi dari penurunan kemampuan berpikir kritis, fokus, dan keterlibatan penuh dengan dunia nyata. Di era digital saat ini, di mana video-video viral menyebar luas, konsep ini semakin relevan.

Studi Internasional tentang Brain Rot

Para peneliti yang terlibat dalam studi ini berasal dari beberapa negara, termasuk Oman, Mesir, dan Tiongkok. Salah satu anggota tim adalah Ahmed Mohamed Fahmy Yousef, seorang ahli ilmu komputer yang juga mengajar di Fayoum University, Mesir. Dalam laporan mereka, Ahmed dan rekan-rekannya menyarankan pendekatan mindful dalam penggunaan teknologi untuk mengurangi dampak brain rot. Pendekatan ini mencakup pembatasan waktu layar, penyaringan konten digital, serta partisipasi dalam aktivitas non-digital.

Meme Anomali dan Dampaknya pada Anak-anak

Di Indonesia, Melly Latifah, seorang dosen dari IPB University, juga menyampaikan perhatiannya terhadap fenomena brain rot melalui meme anomali yang sedang viral. Meme-meme ini sering kali menampilkan karakter AI yang menggabungkan makhluk hidup dan benda, seperti manusia berwujud pentungan kayu, hiu memakai sepatu, atau cappuccino berkepala balerina.

Menurut Melly, meskipun konten ini terlihat lucu dan viral, ada potensi dampak serius terhadap perkembangan anak dan remaja. Ia menyoroti bahwa pada anak usia dini, konten absurd ini bisa mengacaukan pemahaman terhadap realitas, karena mereka belum mampu membedakan antara fantasi dan kenyataan.

Visual yang "hiper-absurd" dapat memicu pelepasan dopamin secara berlebihan, yang berdampak pada fokus dan emosi. Selain itu, narasi yang tidak koheren dapat mengganggu struktur bahasa anak. Pada remaja, paparan konten absurd berkelanjutan bisa membentuk pola pikir tidak logis, yaitu semakin tidak masuk akal, semakin menarik. Hal ini mengurangi kemampuan berpikir sistematis.

Selain itu, konten seperti ini juga bisa mengikis empati karena sering kali menghilangkan konteks emosional dari suatu peristiwa. Namun, Melly mengakui bahwa konten absurd tidak sepenuhnya berbahaya jika dikelola dengan cara yang tepat. Dalam kondisi tertentu, konten ini bisa merangsang kreativitas dan fleksibilitas berpikir.

Tips untuk Orang Tua

Melly menyarankan agar orang tua memberi penjelasan kepada anak-anak ketika mereka melihat konten absurd. Misalnya, orang tua bisa berkata, “Ini hanya khayalan AI. Dalam dunia nyata, ikan hiu tidak memakai sepatu.” Selain itu, pembatasan akses dan pengawasan terhadap konten digital sangat penting.

Orang tua juga diminta untuk mengenali gejala awal brain rot, yang bisa muncul dalam bentuk gangguan kognitif, bahasa, emosi, maupun sosial. Anak bisa sulit berkonsentrasi, sering lupa instruksi sederhana, bicaranya patah-patah, atau kosa katanya menyusut. Secara emosional, mereka bisa tertawa histeris saat online tetapi datar ketika diajak berbicara. Ada juga yang marah ketika gadget diambil.

Setiap usia menunjukkan gejala berbeda. Balita mungkin meniru gerakan absurd yang mereka lihat. Anak SD bisa mengalami penurunan nilai drastis. Sementara remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa meme. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk selalu waspada dan memahami perkembangan anak mereka.