Kekacauan Pelabuhan Terungkap oleh KNKT

Masalah Keselamatan Transportasi Laut di Indonesia
Transportasi laut di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang serius. Sebelum kecelakaan KM Barcelona V pada 20 Juli 2025, ada beberapa kejadian serupa yang menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa. Salah satu contohnya adalah insiden Kapal Penumpang Motor (KMP) Tunu Pratama Jaya. Berdasarkan data manifest kapal yang berlayar dari Pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk, terdapat 65 penumpang di dalamnya. Dari jumlah tersebut, 30 orang selamat, 19 meninggal dunia, 4 belum teridentifikasi, dan 16 orang dinyatakan hilang.
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono, menyampaikan bahwa ada beberapa permasalahan terkait keselamatan transportasi laut. Ia menjelaskan bahwa masalah ini sudah disampaikan kepada Komisi V DPR-RI. Beberapa isu utama meliputi kondisi cuaca, kelaiakan kapal, serta pengawasan sebelum kapal berlayar.
Soerjanto menekankan pentingnya memastikan kelaiakan kapal sebelum berangkat. Menurutnya, garis muat atau plimsoll mark tidak boleh tenggelam saat kapal berlayar. Hal ini sangat penting untuk menjaga stabilitas kapal dan mencegah risiko kecelakaan.
Selain itu, muatan barang di dalam kapal harus diikat dengan prosedur lashing agar tidak bergeser. Namun, prosedur ini membutuhkan waktu tambahan, sehingga memengaruhi kapasitas pelabuhan. Saat ini, tanpa lashing, waktu sandar kapal hanya sekitar 30-40 menit. Jika lashing dilakukan, waktu sandar bisa mencapai 1,5 jam. Setelah itu, perlu dilakukan perhitungan stabilitas kapal yang memakan waktu tambahan 20 menit. Hal ini berdampak pada antrean panjang dan penurunan standar pelayanan minimum.
Masalah Stabilitas Kapal dan Ketersediaan Alat Timbang
Masalah lain yang dihadapi adalah ketidakhadiran alat timbang kendaraan di sebagian besar pelabuhan. Tanpa data berat kendaraan, awak kapal sulit menghitung stabilitas kapal. Ini menjadi tantangan besar karena stabilitas kapal sangat vital. Jika kapal diberangkatkan dalam kondisi stabil pas-pasan, maka ombak dapat menyebabkan kapal miring dan tidak kembali ke posisi normal.
Soerjanto menyarankan agar pelabuhan menambah dermaga untuk mengantisipasi antrean yang panjang jika semua prosedur diterapkan. Kapal dikatakan laiak berlayar jika semua unsur terpenuhi, termasuk teknis, administrasi, kondisi cuaca, dan kualitas kru. Misalnya, meskipun kapal dalam kondisi baik, tetapi kru tidak siap, maka kapal dianggap tidak laiak. Begitu juga jika cuaca tidak mendukung, meskipun kapal dan kru dalam kondisi baik.
Peran BMKG di Pelabuhan
Soerjanto juga mendorong kehadiran Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) secara lebih aktif di pelabuhan. Menurutnya, hal ini penting mengingat Indonesia merupakan negara tropis dengan perubahan cuaca yang sangat dinamis. Perubahan iklim akibat pemanasan global membuat kondisi cuaca semakin tidak pasti. BMKG telah hadir di beberapa pelabuhan seperti Ketapang-Gilimanuk dan Merak-Bakauheni, namun diperlukan penyebaran yang lebih luas.
Dengan adanya kehadiran BMKG, pelabuhan dapat memperoleh informasi cuaca yang akurat, sehingga meminimalkan risiko kecelakaan transportasi laut. Ini menjadi langkah penting untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi operasional di pelabuhan.