Kekuatan Lunak Diplomasi Indonesia di Forum Multilateral

Featured Image

Penurunan Kemiskinan Ekstrem di Indonesia: Tanda Awal Transformasi Sosial

Di tengah dinamika global yang penuh ketegangan dan tantangan ekonomi, angka penurunan jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia menjadi kabar yang menarik perhatian. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin ekstrem turun menjadi 2,38 juta jiwa, atau sekitar 0,85 persen dari populasi nasional. Angka ini tidak hanya sekadar data statistik, tetapi juga merupakan bukti nyata bahwa upaya pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan inklusif mulai membuahkan hasil.

Pencapaian ini menjadi penting karena terjadi di tengah berbagai tekanan ekonomi baik di tingkat lokal maupun global. Meskipun angka tersebut menunjukkan kemajuan, masih ada sejumlah besar warga yang hidup dalam kondisi rentan. Ini mengingatkan kita bahwa keberhasilan yang diraih saat ini belum cukup untuk mengakhiri perjuangan menuju keadilan sosial. Perlu adanya kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat pembangunan.

Tren penurunan jumlah penduduk miskin ekstrem terlihat konsisten. Dari 2,78 juta orang (0,99%) pada September 2024, jumlah ini turun menjadi 2,38 juta orang (0,85%) pada Maret 2025. Bahkan dibandingkan dengan Maret 2024, penurunannya lebih tajam lagi, mencapai 1,18 juta orang. Standar pengukuran yang digunakan adalah rujukan internasional Bank Dunia, yaitu pengeluaran di bawah 2,15 dolar Amerika per hari berdasarkan daya beli tahun 2017.

Selain itu, tingkat ketimpangan juga menunjukkan penurunan. Rasio Gini nasional tercatat 0,375 pada Maret 2025, turun dari 0,381 pada September 2024. Namun, ironisnya, ketimpangan di perkotaan masih lebih tinggi dibanding daerah pedesaan. Rasio Gini kota mencapai 0,395, sementara di desa hanya 0,299. Hal ini menunjukkan bahwa kota-kota besar masih menjadi pusat ketimpangan, meskipun rata-rata nasional menunjukkan peningkatan.

Relevansi bagi Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi

Dalam konteks diplomasi internasional, data ini memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar pencapaian domestik. Dunia kini menilai negara-negara berdasarkan kemampuan mereka dalam mengangkat rakyatnya keluar dari kemiskinan ekstrem. Laporan kemajuan ini bisa menjadi modal dalam diplomasi, baik di forum G20 maupun Sidang Umum PBB. Ini menunjukkan bahwa Indonesia aktif dalam isu pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial global.

Indonesia sering kali menjadi suara untuk negara-negara Selatan Global. Dengan data nyata tentang penurunan kemiskinan ekstrem, Indonesia tidak hanya sebagai pengamat, tetapi juga sebagai pelaku dalam kerja sama regional dan internasional. Hal ini memperkuat posisi kita dalam kerangka ASEAN dan OKI, serta memberikan dasar moral dalam menyuarakan keadilan bagi komunitas tertindas di berbagai belahan dunia.

Masalah Klasik Kota Besar yang Belum Terselesaikan

Meski angka nasional menunjukkan peningkatan, ketimpangan di kota-kota besar masih menjadi masalah utama. Kota-kota ini menjadi pusat ekonomi sekaligus titik rapuh dalam stabilitas sosial dan politik. Ketika jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, risiko krisis sosial meningkat. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah perlu mengarahkan program perlindungan sosial yang lebih adaptif, seperti hunian terjangkau, akses transportasi publik, dan peluang kerja layak.

Dalam konteks diplomasi ekonomi, keberhasilan menekan kemiskinan ekstrem menjadi modal untuk menarik investasi yang inklusif. Investor global semakin melihat kesenjangan sosial sebagai indikator risiko. Negara yang mampu mengendalikan ketimpangan akan dipandang lebih stabil dan berdaya saing. Oleh karena itu, penyelesaian ketimpangan di kota-kota besar harus menjadi prioritas utama.

Momentum untuk Narasi Besar Indonesia

Penurunan kemiskinan ekstrem ini bukan akhir dari cerita, tetapi awal dari sebuah transformasi sosial-ekonomi yang berpihak pada kemanusiaan. Dua juta lebih warga masih hidup dalam kondisi rentan, namun pencapaian ini memberi momentum untuk membangun narasi besar Indonesia sebagai bangsa yang bangkit dari berbagai krisis, termasuk pandemi, inflasi global, dan dinamika geopolitik.

Di tengah dunia yang terbelah oleh konflik dan rivalitas blok, Indonesia dapat menawarkan kisah lain: kisah transformasi sosial-ekonomi yang inklusif. Inilah bentuk diplomasi terkuat, yang bukan sekadar pidato di forum dunia, tetapi teladan nyata dari rumah sendiri. Paradigma baru diplomasi Indonesia kini bertumpu pada prestasi konkret, bukan retorika semata. Penurunan kemiskinan ekstrem dari 0,99% menjadi 0,85% dalam enam bulan menunjukkan efektivitas kebijakan yang terukur dan berbasis data.

Namun, paradoks urban-rural dalam ketimpangan (rasio Gini kota 0,395 vs desa 0,299) mengungkap tantangan struktural yang memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih kompleks. Fenomena ini mencerminkan urbanisasi yang tidak diimbangi dengan distribusi kesempatan ekonomi yang merata, sebuah masalah klasik negara berkembang yang sedang bertransformasi.

Dari perspektif diplomasi publik, pencapaian ini memperkuat soft power Indonesia di forum multilateral. Ketika negara-negara maju menghadapi stagnasi ekonomi dan polarisasi sosial, Indonesia hadir dengan narasi alternatif tentang pertumbuhan inklusif yang bisa menjadi model bagi Global South. Hal ini sejalan dengan visi Indonesia sebagai middle power yang berupaya membangun tatanan global yang lebih berkeadilan.