Maxim Akui Potongan Komisi Ojol 10% Bisa Rugikan Pengemudi dan Penumpang

Penurunan Komisi dan Tuntutan Pengemudi Ojol di Indonesia
Maxim, salah satu perusahaan layanan transportasi online, merespons tuntutan para pengemudi ojek online (ojol) yang meminta penurunan potongan komisi dari aplikator menjadi 10%. Dalam pernyataannya, Public Relations Specialist Maxim Order Service Arkam Suprapto menyampaikan bahwa penurunan komisi hingga 10% dapat berdampak negatif pada ekosistem transportasi.
Arkam menegaskan bahwa penurunan komisi akan berdampak langsung pada aplikator, yang bisa menyebabkan penurunan kualitas layanan. Hal ini juga akan memengaruhi dukungan dan layanan yang diberikan kepada pengemudi maupun penumpang. Jika komisi diturunkan, maka bonus dan promosi bagi pengemudi serta penumpang bisa berkurang, serta pengembangan fitur baru dalam aplikasi akan terhambat.
Selain itu, pelanggan juga akan terdampak karena kualitas, kontrol, dan layanan dukungan akan terganggu. Waktu tunggu permintaan bisa meningkat, sehingga secara keseluruhan kualitas layanan akan menurun. Arkam menambahkan bahwa dampak tersebut bisa berujung pada penurunan jumlah pesanan, yang akhirnya merugikan para pengemudi.
Menurut Arkam, sistem komisi yang saat ini diterapkan sudah seimbang, memungkinkan setiap pihak yang beroperasi sesuai aturan perusahaan untuk memperoleh penghasilan yang layak. Saat ini, perusahaan menerapkan skema komisi sebesar 8% hingga 15%, tergantung pada jenis kendaraan dan aktivitas pengemudi.
Terkait tuntutan penghapusan beberapa fitur dalam aplikasi, Arkam mengatakan bahwa Maxim belum memiliki program khusus. Namun, pengemudi tetap memiliki peluang yang cukup untuk mendapatkan pesanan melalui sistem penugasan otomatis maupun dengan memilih area operasional yang nyaman. “Semua kembali pada preferensi mitra pengemudi,” katanya.
Sebelumnya, para pengemudi ojol menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Silang Selatan, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait transportasi online.
Ketua Umum Garda Indonesia Igun Wicaksono menyampaikan bahwa meski pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Transportasi Online telah dimulai di DPR, proses legislasi tersebut masih membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, para pengemudi meminta pemerintah untuk mempercepat kehadiran payung hukum sementara melalui Perppu.
“Kami butuh solusi yang cepat untuk mengisi kekosongan hukum dalam ekosistem transportasi online. Karena itu, kami minta Presiden menerbitkan Perppu sebagai alternatif sambil menunggu RUU disahkan oleh DPR RI, khususnya Komisi V,” kata Igun.
Selain menuntut Perppu, massa aksi juga menyuarakan empat poin tuntutan lainnya. Pertama, mereka meminta agar potongan komisi dari aplikator diturunkan menjadi 10%. Menurut Igun, saat ini banyak aplikator yang mengenakan potongan komisi hingga 50%, jauh di atas batas maksimal 20% yang diatur dalam regulasi.
“Potongan 20% itu sebetulnya tidak pernah ditegakkan. Faktanya banyak aplikator yang mengambil lebih dari itu. Jadi kami minta diturunkan jadi 10%,” tegasnya.
Tuntutan kedua datang dari para kurir pengantar barang dan makanan yang tergabung dalam aksi. Mereka mendesak pemerintah untuk menetapkan aturan resmi terkait tarif pengantaran. Poin ketiga menyoroti mandeknya kewajiban audit terhadap perusahaan aplikator. Menurut Igun, sejak diaturnya kewajiban audit pada 2022, belum pernah ada audit yang benar-benar dilakukan.
“Kami menuntut agar dilakukan audit investigatif terhadap perusahaan aplikator, dan hasilnya disampaikan kepada Kementerian Perhubungan serta seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya.
Terakhir, pada poin keempat, para pengemudi meminta penghapusan sejumlah fitur dalam aplikasi, seperti multi order, argo aceng, dan slot. Mereka menilai fitur-fitur tersebut justru merugikan pengemudi dan kerap memicu konflik dengan pelanggan.
“Contohnya fitur multi order. Di Yogyakarta, sempat terjadi konflik antara pengemudi dan pelanggan karena keterlambatan pengantaran makanan yang diakibatkan oleh sistem pemesanan ganda,” kata Igun.