Melihat Peluang Industri Alat Kesehatan di Tengah Relaksasi TKDN Produk AS

Featured Image

Wacana Pelonggaran TKDN untuk Produk Alkes dari Amerika Serikat

Pembahasan mengenai pelonggaran Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk produk alat kesehatan (alkes) dari Amerika Serikat (AS) kembali menjadi topik perbincangan. Pemangkasan aturan TKDN ini dianggap sebagai bagian dari negosiasi tarif resiprokal antara Indonesia dan AS, setelah Presiden AS sebelumnya memangkas tarif yang dikenakan pada produk asal Indonesia dari 32% menjadi 19%. Pemerintah Indonesia merespons isu ini dengan menegaskan bahwa pengaturan TKDN akan diberlakukan secara terbatas, hanya untuk sejumlah industri tertentu.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, fasilitasi TKDN akan berlaku bagi produk teknologi informasi dan komunikasi, data center, serta alkes. Namun, penerapannya tetap harus mematuhi aturan impor dan dilakukan pengawasan oleh lembaga terkait. Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan industri dalam negeri dan kebutuhan pasar akan produk berkualitas tinggi.

Kekhawatiran dari Asosiasi Produsen Alkes

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki), Erwin Hermanto, menyampaikan kekhawatiran terhadap rencana pelonggaran TKDN tersebut. Ia khawatir langkah ini bisa menjadi preseden bagi produk impor dari negara lain, seperti China, sehingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat di pasar alkes dalam negeri. "Kami khawatir pelonggaran TKDN ini bisa menjadi awal dari kemunduran industri dalam negeri," ujarnya.

Erwin juga menilai bahwa lebih baik jika pemerintah fokus pada penyederhanaan regulasi daripada memperluas pelonggaran TKDN. Ia berharap TKDN tetap dapat memberikan stimulasi bagi industri dalam negeri, sehingga ketergantungan terhadap impor bisa terus dikurangi.

Impor Alkes dan Peran Teknologi

Impor alkes di Indonesia masih mendominasi, dengan angka mencapai sekitar 52% pada tahun lalu. Produk yang diimpor umumnya adalah alkes berbasis teknologi tinggi, seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT) scan, yang belum bisa diproduksi sepenuhnya oleh manufaktur dalam negeri. Meski demikian, Erwin melihat adanya penurunan signifikan dalam proporsi impor, terutama setelah era pandemi.

Seiring dengan implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri, semakin banyak produsen lokal yang mulai mengambil alih produksi alkes. Contohnya adalah PT Drager Indonesia yang telah meluncurkan fasilitas produksi ventilator. Kementerian Perindustrian juga mendukung pengembangan industri ini, dengan proyeksi kebutuhan alkes yang terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan ekspansi layanan kesehatan.

Kepedulian dari Perusahaan Lokal

Perusahaan seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) juga aktif dalam memacu produksi alkes dalam negeri. Melalui anak usaha mereka, PT Forsta Kalmedic Global, KLBF bekerja sama dengan GE HealthCare Technologies Inc. untuk mengembangkan fasilitas produksi CT Scan pertama di Indonesia. Proyek ini diharapkan mampu meningkatkan kontribusi segmen bisnis alkes, yang saat ini hanya sekitar 5% dari total bisnis distribusi dan logistik perusahaan.

Selain itu, produsen sarung tangan medis seperti PT Haloni Jane Tbk (HALO) juga menunjukkan potensi besar dalam memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Direktur HALO, Taufan Kurniawan, menegaskan bahwa industri ini tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga memiliki peluang ekspansi ke pasar internasional. Saat ini, perusahaan sedang menjajaki pasar Afrika Selatan setelah sebelumnya melakukan ekspor ke Amerika Latin dan Timur Tengah.

Tantangan dan Peluang di Masa Depan

Meskipun ada tantangan dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor, peluang untuk pengembangan industri alkes dalam negeri sangat besar. Dengan dukungan pemerintah dan inovasi dari pelaku usaha, sektor ini diharapkan mampu tumbuh secara berkelanjutan dan meningkatkan daya saing di pasar global.