Mengapa Kita Sulit Berkonsentrasi? Ini Penyebab dan Solusinya

Featured Image

Perubahan Budaya dan Pengaruhnya terhadap Fokus

Di dunia modern yang penuh dengan hiburan, kita seringkali dihadapkan pada berbagai bentuk stimulasi yang terus-menerus. Video, TV, film, musik, podcast, dan notifikasi yang tak pernah berhenti menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Semua ini membanjiri indra kita, mengganggu kemampuan untuk fokus. Tidak hanya sekadar perasaan pribadi, tetapi penelitian juga menunjukkan bahwa rentang perhatian manusia kini semakin pendek.

Masalah ini bukan hanya disebabkan oleh internet, melainkan jauh lebih dalam. Internet hanya memperparah kondisi yang sudah ada sejak lama. Untuk memahami dan mengatasi masalah ini, kita perlu mencari akar penyebabnya. Dari pergeseran budaya baca ke budaya layar, kita bisa melihat bagaimana cara manusia berpikir telah berubah seiring waktu.

Dari Buku ke Televisi: Awal Perubahan Besar

Pada 1980-an, Neil Postman menulis buku legendaris Amusing Ourselves to Death, yang mengkritik dampak pergeseran dari budaya baca ke media massa, terutama televisi. Ia menyatakan bahwa cara menyampaikan informasi, bukan hanya isi dari informasi itu sendiri, telah mengubah cara kita berpikir. Ia merujuk pada frasa Marshall McLuhan, "the medium is the message", yang menyatakan bahwa media itu sendiri membentuk pesan dan cara berpikir kita.

Dulu, ketika buku menjadi alat utama penyebaran informasi, orang terbiasa membaca dan berpikir panjang. Contohnya, debat Lincoln-Douglas tahun 1858. Debat ini bisa berlangsung tiga jam, dengan pidato pembuka 60 menit dari tiap kandidat. Penonton saat itu, yang sebagian besar adalah pembaca buku, sanggup mengikuti argumen kompleks yang panjang. Mereka terlatih untuk fokus.

Bandingkan dengan debat Kennedy-Nixon tahun 1960, debat politik pertama yang ditayangkan televisi. Waktunya dipangkas drastis: satu jam saja, dengan pidato pembuka 8 menit. Format televisi tidak membutuhkan fokus panjang. Yang penting adalah impresi visual. Orang lebih ingat bahwa Nixon "terlihat sakit", bukan isi argumennya. Televisi mengubah cara kita memilih pemimpin.

Dari Televisi ke Internet: Era Kekacauan Digital

Kini kita sudah melangkah lebih jauh, dari TV ke internet. Pengalaman berselancar di internet adalah kekacauan yang terstruktur untuk satu tujuan: membuat kita terus terpaku. Lihat saja tampilan beranda YouTube: deretan video, notifikasi, kolom pencarian, dan rekomendasi tak berujung. Semuanya dirancang untuk satu hal, jika kamu bosan sedetik saja, ada hal lain yang bisa kamu klik.

Ini bukan kebetulan. Platform digital tak peduli apa yang kamu tonton, asalkan kamu tetap berada di sana. TikTok bahkan lebih ekstrem. Saat membuka aplikasinya, informasi mengalir begitu cepat hingga otak kewalahan. Kamu tak diberi waktu untuk berpikir, apalagi merenung. Tujuannya sederhana: jaga perhatianmu tetap tersedot, sesingkat apa pun.

Otak yang Terbentuk oleh Layar

Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows menjelaskan bahwa otak manusia bersifat plastis, ia berubah berdasarkan kebiasaan dan lingkungan. Ketika kita terus-menerus mengonsumsi informasi cepat, otak kita menyesuaikan diri: ia menjadi gelisah, tak sabar, dan dangkal.

Tapi ada kabar baiknya. Karena otak bisa berubah, kita juga bisa melatih ulang fokus kita. Caranya?

Tiga Langkah Melatih Fokus di Era Digital

  1. Jauhkan diri dari ponsel
    Matikan notifikasi. Ambil waktu istirahat penuh dari gawai. Satu hari tanpa menyentuh ponsel bisa menjadi latihan awal yang ampuh. Kesulitan fokus seringkali berasal dari kehadiran konstan benda kecil itu di saku kita—siap menarik perhatian dengan suara, getaran, atau janji hiburan.

  2. Konsumsi media yang menuntut perhatian
    Tak harus langsung membaca War and Peace. Menonton film berkualitas tinggi di bioskop (bukan Netflix sambil scroll TikTok) juga bisa jadi latihan. Kuncinya adalah melatih otak untuk tetap bersama satu ide hingga akhir.

  3. Latih diri untuk merasa bosan
    Pergilah jalan-jalan pagi tanpa ponsel. Biarkan pikiranmu mengembara. Latih diri untuk betah bersama satu ide dalam waktu lama, merenung, berdebat dengan diri sendiri, bertanya.

Ini mungkin terdengar membosankan. Tapi justru di sanalah letak keajaibannya. Otak kita perlu waktu tenang untuk menyusun ulang struktur pikir yang rusak oleh informasi yang terus datang bertubi-tubi.

Perang Melawan Perhatian Kita

Perlu diingat: ini bukan pertarungan yang adil. Perusahaan teknologi mempekerjakan psikolog dan insinyur terbaik untuk merancang aplikasi yang merebut perhatian kita. Bahkan Sean Parker, presiden pertama Facebook, mengakui bahwa platform itu dibangun untuk “menghabiskan waktu sadar Anda sebanyak mungkin”, dengan trik dopamin dari like dan komentar.

Ironisnya, para pencipta teknologi ini tahu bahayanya. Steve Jobs melarang anak-anaknya menggunakan iPad. Mark Zuckerberg juga tak membiarkan anak-anaknya memakai Facebook. Mereka melindungi keluarganya. Kenapa kita tidak?

Akhirnya, ini bukan soal nostalgia terhadap buku atau romantisme masa lalu. Ini soal mempertahankan satu hal penting dalam hidup modern yang sibuk dan bising: kemampuan untuk berpikir jernih. Fokus adalah keterampilan yang bisa dan harus dilatih kembali. Dan semuanya dimulai dari satu keputusan sederhana, untuk berhenti teralihkan.